Jumat, 30 November 2012

Kategori Risalah : Do'a dan Taubat

Mengharap Berkah Melalui Dzikir Kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala

Jumat, 3 Agustus 2012 06:18:49 WIB

Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i
 
 
Hakikat dari keberkahan adalah kebaikan yang senantiasa ada, kontinu, melimpah dan semakin bertambah. Dan semua kebaikan baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala -sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya pada bahasan pendahuluan-. Karena itu, keberkahan tidak boleh diharapkan dan diminta kecuali hanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, atau boleh juga melalui segala sesuatu yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala titipkan suatu keberkahan kepadanya, yang tentunya dengan cara yang sesuai dengan syariat (masyruu’). Dan dzikrullaah (dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) merupakan salah satu sarana dalam mencari keberkah-an dari-Nya.

Dzikir (mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala) dapat dilakukan dengan hati (bil qalbi), dan dapat pula dengan lisan (bil lisaan). Namun yang terbaik (al-afdhal) adalah dengan hati dan lisan sekaligus [1], tetapi jika dibatasi pilihannya hanya pada salah satu dari keduanya, maka dengan hatilah yang lebih utama (afdhal)[2] , karena dzikir hati (dzikrul Qalbi) akan membuahkan pengetahuan (ma’rifah) dan membang-kitkan rasa cinta (al-mahabbah) dan rasa malu (al-hayaa’), melahir-kan rasa takut (makaafah) serta menghadirkan rasa pengawasan (muraaqabah) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.[3]

Macam-Macam Dzikir

Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya, al-Waabilush Shayyib menyebutkan tentang jenis-jenis dzikir, bahwa dzikir itu terbagi dua macam, yaitu:

Pertama : Menyebut Nama-Nama, Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyanjung-Nya dengan menggunakan Nama-Nama dan Sifat-Sifat tersebut, juga mensucikan-Nya dari segala dari segala hal yang tidak layak untuk disandarkan kepada-Nya. Dan hal ini pun terbagi lagi menjadi dua:

1. Melakukan puji-pujian terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menyebut Nama-Nama maupun Sifat-Sifat-Nya.
Bagian inilah yang sering diterangkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti, سُبْحَانَ اللهُ، وَالْحَمْدُ للهِ، وَلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ dan سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ serta لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ atau yang lainnya.

Dan yang terbaik (afdhal) dalam bagian ini serta mencakup segala pujian, adalah سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ خَلْقِهِ. Ini lebih utama (afdhal) dari sekedar سُبْحَانَ اللهُ. Sebagaimana jika engkau mengucapkan, “الْحَمْدُ للهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ وَعَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الأَرْضِى وَعَدَدَ مَا بَيْنَهُمَا، وَعَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ” lebih utama (afdhal) dari sekedar “الْحَمْدُ للهِ”. Beliau menguatkan pendapat ini dengan menyebutkan beberapa hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Informasi [4] tentang Allah Tabaaraka wa Ta‘aalaa dengan berbagai kaidah Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya yang sempurna.
Seperti, bahwa Allah Azza wa Jalla mendengar suara-suara hamba-Nya, melihat gerak-gerik mereka, tidak ada sesuatu pun dari amal mereka yang tersembunyi, Dia Mahapenyayang kepada mereka, lebih dari orang tua mereka dan bahwa Dia Mahakuasa atas segala se-suatu, dan yang lainnya.

Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah melanjutkan: “Dan (cara) yang terbaik dari jenis ini, yaitu pujian kepada-Nya dengan pujian yang Dia gunakan dalam memuji Diri-Nya sendiri, dan dengan pujian yang Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam gunakan dalam memuji-Nya tanpa tahriif (menyimpangkan makna dari Nama dan Sifat-Nya), tanpa ta’thiil (meniadakan Sifat-Sifat-Nya), tanpa tasybiih (menye-rupakan Zat dan Sifat-Nya dengan zat dan sifat makhluk-Nya) dan tanpa tamtsiil (menyamai Zat dan Sifat-Nya dengan zat dan sifat makhluk-Nya).

Lalu beliau menyebutkan beberapa jenis yang lain lagi, dan berkata:
Kedua, menyebut dan mengingat perintah, larangan dan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jenis ini pun terklasifikasi menjadi dua macam:
1. Menyebut dan mengingat hal-hal tersebut sebagai informasi dan pemberitahuan dari-Nya, bahwa Allah Ta’ala telah memerintahkan hal ini, melarang hal itu, suka pada hal ini, murka pada hal itu, serta ridha terhadap hal yang demikian.

2. Menyebut dan mengingat perintah-Nya kemudian bersegera merealisasikannya, atau menyebut dan mengingat larangan-Nya kemudian bersegera menjauhkan diri darinya.
Beliau melanjutkan: “Dan termasuk dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dengan menyebut-nyebut karunia dan nikmat-Nya, kebaikan-Nya, bantuan-Nya dan segala pemberian-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Maka, semuanya ada lima macam dzikir.”[5]

Kesimpulannya adalah, berdzikir kepada Allah Ta‘ala terbagi menjadi: Menyebut Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya Ta‘ala, yang sengaja digunakan untuk berdzikir maupun yang bersifat pengkabaran. Dan mengingat perintah dan larangan-Nya beserta hukum-hukum-Nya, baik yang bersifat ucapan (qaulan) maupun prakteknya (‘amalan), dan menyebut-nyebut nikmat-nikmat-Nya dan kebaikan-kebaikan-Nya kepada makhluk-Nya.

Maka, dibolehkan mencari berkah dengan dua dzikir yang tersebut di atas tadi, dengan jenis-jenis dan macam-macamnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan petunjuk kepada kita agar membaca dzikir dan wirid-wirid yang disyariatkan baik yang umum maupun khusus, dan terikat oleh tempat, waktu maupun keada-an, seperti dzikir yang disyariatkan dalam shalat, sesudah adzan, haji dan berbagai ibadah lain, juga seperti dzikir-dzikir siang dan malam yang telah masyhur, contohnya dzikir pagi dan sore, saat tidur, mengendarai kendaraan, saat berpakaian, dan selainnya. Begitu pun pada saat tertentu dan kondisi-kondisi tertentu yang berbeda-beda serta pada seluruh keadaan seorang Muslim.

Lafazh dzikir tertera dan termaktub dalam buku-buku Sunnah, dan sebagian ulama telah memisahkan pembahasan dzikir tersebut dalam buku yang tersendiri. Yang paling populer dan terbaik adalah kitab al-Adzkaar yang ditulis oleh Imam Nawawi rahimahullah. Adapun hukum berdzikir tersebut adalah beragam, ada yang wajib seperti dzikir-dzikir shalat, contohnya tasbih saat ruku’ dan sujud, serta selainnya. Begitu juga ada yang Sunnah, kelompok inilah yang terbanyak dari yang sebelumnya.

Menyebut Nama-Nama Allah Ta‘ala Adalah Salah Satu Bentuk Dzikir
Termasuk dalam kategori dzikir adalah menyebut Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala saat akan berbicara dan bekerja. Tasmiyyah (mengucapkan بِسْمِ اللهِ) ini disunnahkan di awal setiap perkataan maupun perbuatan.[6] Artinya, “Aku memulai dengan menyebut Nama Allah (bi tasmiyyatillaah) sebelum aku berkata maupun aku berbuat.” Di antara hikmah dari dzikir ini adalah memperoleh keberkahan yang bersifat ukhrawi maupun duniawi pada hal-hal tersebut, serta menghalangi kerusakan-kerusakan dan keburukan darinya, dengan kemuliaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pertolongan-Nya.

Setelah memberikan contoh-contoh bagi hal tersebut, al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yang disyariatkan adalah menyebut Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala pada saat akan melakukan hal-hal tersebut di atas, dengan maksud untuk mengharap berkah, percaya, optimis dan berharap sebagai penolong, agar Allah berkenan menyempur-nakannya serta menerimanya.”[7] Dan di antara perkara-perkara yang disyariatkan bertasmiyyah (menyebut Nama Allah) padanya adalah pada saat berkurban dan berburu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

“Dan janganlah kamu mamakan binatang-binatang yang tidak disebut Nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan...” [Al-An‘aam: 121]


Dan juga firman-Nya:

فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ

“...Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah Nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya)...” [Al-Maa-idah: 4]


Serta pada saat berwudhu’, mandi, tayammum,[8] dan juga pada saat masuk dan keluar masjid. Juga saat makan dan minum, sebagaimana yang disebutkan dalam ash-Shahiihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), dari ‘Umar bin Abi Salamah[9] Radhiyallahu anuma berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku:

"يَا غُلاَمُ سَمِّ اللهَ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ!"

“Wahai pemuda sebutlah dengan Nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu!”[10]


Di dalam beberapa kitab Sunan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا، فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ فَإِنْ نَسِيَ فِي أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ فِي أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ."

“Jika salah seorang diantara kalian makan, maka ucapkanlah bismillaah (dengan Nama Allah). Namun bila ia lupa, maka ucapkanlah bismillaahi fii awwalihi wa aakhirihi (dengan Nama Allah di awal dan akhirnya).” [11]


Dan juga di antaranya adalah tasmiyyah ketika akan masuk dan keluar rumah, ketika akan tidur, akan jima', dan selainnya. Demikian pula basmalah (yaitu mengucapkan بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ) disyariatkan di saat akan membaca awal dari surat-surat dalam al-Qur-an kecuali pada surat Bara-ah (at-Taubah).

Sebagian ulama telah menyebutkan beberapa alasan melakukan hal tersebut, diantaranya dalam rangka bertabarruk (meng-harap berkah) dengannya. Demikian pula telah disepakati oleh para ulama umat, agar menuliskannya pada permulaan buku-buku maupun surat.

Shalawat Atas Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam
Dan termasuk pula dalam dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah, shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia merupakan bagian dari dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ungkapan syukur kepada-Nya, serta mengakui nikmat-Nya terhadap hamba-Nya dengan mengutus beliau, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Shalawat atas Nabi adalah hukumnya wajib pada saat tasyahhud akhir dalam shalat -dengan lafazh yang telah diketahui sesuai menurut Sunnah- menurut pendapat yang lebih tepat dari dua pendapat ulama yang ada.[12] Shalawat tersebut juga disyari’atkan dalam berbagai kondisi, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Imam Ibnul Qayyim bahwasanya (shalawat ini) disyari’atkan dalam 40 kondisi dengan beserta dalil-dalilnya dalam kitab beliau, Jalaa-ul Afhaam fiish Shalaah was Salaam ‘alaa khairil Anaam.[13] Di antaranya adalah shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika disebutkan namanya,[14] di awal-awal do’a serta akhirnya, pada hari Jum’at, dan selainnya.

Adapun dalil disyariatkannya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepada-nya.” [Al-Ahzab: 56]


Serta hadits-hadits yang menganjurkannya, memperbanyak jumlahnya serta mengungkapkan keutamaan-keutamaannya adalah sangat banyak sekali.[15] Saya nukilkan di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا."

“Barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat[16] padanya 10 kali.”[17]


Dan disebutkan pada dalam kitab-kitab Sunan dari Anas Radhiyallahu anhu dengan lafazh:

"صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرَ صَلَوَاتٍ، وَحُطَّتْ عَنْهُ عَشْرُ خَطِيئَاتٍ، وَرُفِعَتْ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ."

“Niscaya Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali dan di-hapus darinya 10 kesalahan dan diangkat baginya 10 derajat.”[18]


[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Seandainya makna tersebut ditambahkan dengan menghayati makna dzikir dan segala yang terkandung di dalamnya, seperti mengagungkan Allah Ta‘ala, dan menolak segala sifat kekurangan yang di-nisbatkan kepada-Nya, maka akan lebih sempurna. Jika hal tersebut hadir dalam amalan shalih, lebih-lebih pada segala amal yang wajib, seperti shalat, jihad atau yang lainnya, maka akan menambah kesempurnaannya. Seandai-nya niat dalam mengamalkan suatu amalan sudah benar dan ikhlas karena Allah Ta‘ala, maka akan lebih sempurna lagi. Fat-hul Baari (XI/209).
[2]. Dari kitab al-Adzkaar (hal.6) karya Imam an-Nawawi.
[3]. Al-Wabilush Shayyib wa Raafi’ al-Kalimith Thayyib (hal. 190), oleh Imam Ibnul Qayyim.
[4]. Dari tinjauan penentapan sifat dan dalil-dalilnya, maka Sifat-Sifat Allah Ta‘ala terklasifikasi menjadi dua macam: Pertama, sifat-sifat khabariyah (informatif), yaitu sifat-sifat yang tidak ada jalan untuk menetapkannya kecuali melalui pendengaran dan pemberitaan dari Allah Ta‘ala atau dari Rasulullah j. Karena itu disebut pula sifat-sifat sam‘iyah atau naqliyah, dan terkadang berupa dzaatiyah; seperti wajah dan kedua tangan; dan ada pula yang berupa fi’liyah seperti gembira dan tertawa. Dan ini yang sedang kita bahas saat ini. Kedua, sifat-sifat sam‘iyah aqliyah, yaitu sifat-sifat yang penetapannya disertakan pula dalil-dalil sam‘i (naqli) bersamaan dengan dalil-dalil ‘aqli. Sifat-sifat ini pun ada kalanya berupa dzaatiyah, seperti hidup, ilmu, kekuasaan, dan adapula yang berupa fi‘liyah seperti mencipta dan memberi.-Pent.
[5]. Al-Waabilush Shayyib (hal. 187-190), dengan sedikit perubahan.
[6]. Lihat Tafsir Qurthubi (I/97) dan Tafsir Ibni Katsir (I/9). Imam al-Bukhari membuat bab khusus dalam kitab Shahihnya yaitu bab at-Tasmiyatu ‘ala Kulli Haalin wa ‘inda Wiqaa’ di dalam Kitab Wudhu’. Lihat Shahih al-Bukhari (I/44).
[7]. Tafsiir Ibni Katsir (I/19).
[8]. Sebagian besar ulama mewajibkan tasmiyyah dalam hal-hal tersebut dan di antara mereka ada yang membedakan antara saat lupa dan tidak. Untuk lebih lengkapnya dalam hal ini, lihat buku-buku tafsir, hadits serta fikih.
[9]. Beliau adalah ‘Umar bin Abi Salamah bin ‘Abdirrahman bin ‘Auf az-Zuhri al-Madani, anak tiri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam karena ibunya adalah isteri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, memimpin Bahrain pada masa ‘Ali Radhiyallahu anhu, wafat di Madinah pada th. 83 H. Lihat Asaadul Ghaabah (III/680), al-‘Ishaabah (II/512) dan Tahdziibut Tahdziib (VII/456).
[10]. Shahih al-Bukhari (VI/196) kitab al-Ath’imah bab at-Tasmiyatu ‘alath Tha’aam wal Aklu bil Yamiin dan Shahih Muslim (III/1599) kitab al-Asyribah bab Aadaabuth Tha’aam wasy Syaraab wa Ahkaamuhuma.
[11]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya (IV/139) kitab al-Ath’imah bab at-Tasmiyatu ‘alath Tha’aam dan at-Tirmidzi dalam Sunannya (IV/288) kitab al-Ath’imah bab at-Tasmiyatu ‘alath Tha’aam, ia berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Serta Ibnu Majah dalam Sunannya (II/1087) kitab al-Ath’imah bab at-Tasmiyatu ‘indath Tha’aam, Imam Ahmad dalam Musnadnya (VI/208), ad-Darimi dalam Sunannya (III/94) kitab al-Ath’imah bab at-Tasmiyatu ‘alath tha’aam, al-Hakim dalam al-Mustadrak (IV/108) kitab al-Ath’imah dan ia berkata, “Hadits ini sanadnya shahih dan tidak diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.” Serta disetujui oleh adz-Dzahabi.
[12]. Jalaa-ul Afhaam fish Shalaati was Salami ‘alaa Khairil Anaami (hal. 193-216) karya Ibnul Qayyim, yang menyebutkan dalil-dalil dari kedua pendapat dan beberapa kritikan-kritikan yang sekaligus juga menguatkan akan hukum wajibnya.
[13]. Lihat pada halaman 155-210.
[14]. Sebagian ulama mewajibkannya dalam hal ini, lihat tahqiq masalah tersebut pada referensi sebelumnya (hal. 229-240) demikian juga disyariatkan penu-lisan shalawat ketika nama beliau dituliskan. Ibnu Katsir berkata. “Para penulis mengajak agar (setiap) penulis mengulangi shalawat setiap kali me-nulis nama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam .” Tafsir Ibni Katsir (III/517).
[15]. Lihat kitab al-Adzkar (hal. 96-100) karya Imam an-Nawawi dan kitab Tuh-fatudz Dzaakirin (hal. 24-31) karya asy-Syaukani serta kitab Jalaa-ul Afhaam karya Ibnul Qayyim, beliau telah menyebutkan 40 faedah dan manfaat yang diperoleh dari shalawat.
[16]. Maksud Allahlbershalawat, yakni memberikan rahmat-Nya kepada orang yang bershalawat atau mengucapkan salam kepada Nabi j.-Pent
[17]. Lihat Shahih Muslim (I/306) Kitaabush Shalaah bab ash-Shalaat ‘alan Nabi j ba’dat Tasyahhud.
[18]. Diriwayatkan oleh Imam an-Nasa-i dalam Sunannya (III/50) Kitabus Sahw, dengan tambahan lafazh, “وَرُفِعَتْ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ (Dan diangkat baginya sepuluh derajat).” Diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (III/102), al-Hakim dalam kitabnya, al-Mustadrak (I/550) seraya berkata, “Hadits ini para perawinya shahih, namun tidak diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, dan disetujui juga oleh adz-Dzahabi. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya (II/130) yang disusun oleh al-Farizi.

Kategori Risalah : Do'a dan Taubat

Tabarruk Dengan Meminum Air Zamzam

Kamis, 9 Agustus 2012 10:47:14 WIB


Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i



Definisi Air Zamzam
Zamzam adalah sumur yang diberkahi lagi terkenal berada di dalam Masjidil Haram di sebelah timur Ka’bah. Adapun asal-usul sumur ini adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma -dari hadits yang panjang- bahwa Ibunya Isma’il ketika merasakan dahaga, ia dan anaknya -Isma’il- mencari air. Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata: “Maka ketika berada di Marwah, ia mendengar suara yang berkata: ‘Diamlah.” (sumber suara tersebut) menginginkan dirinya (Hajar) kemudian ia ingin mendengar dengan seksama lalu ia mendengar suara itu, maka ia berkata: ‘Sesungguhnya engkau telah memperdengarkan kepadaku, adakah bantuan darimu.’ Ternyata ia adalah Malaikat [1] yang berada di tempat zamzam, maka Jibril mencari sumber air dengan tumitnya lalu dengan sayapnya hingga keluarlah air, lalu Ibu Isma’il membuat kolam, [2] ia berkata dengan tangannya begini, lalu ia mulai menggayung air untuk meminumnya, hal tersebut dilakukan dengan cepat setelah menggayung.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"يَرْحَمُ اللهُ أُمَّ إِسْمَاعِيْلَ لَوْ تَرَكَتْ زَمْزَمَ، أَوْ قَالَ: لَوْ لَمْ تَغْرُفْ مِنَ الْمَاءِ لَكَانَتْ زَمْزَمُ عَيْنًا مَعْيْنًا."

‘Allah telah merahmati Ibu Isma’il, seandainya ia membiarkan zamzam, atau seandainya ia tidak menggayung, maka air zam-zam akan mengalir terus.” [3] Nabi bersabda: “Maka ia meminumnya lalu menyusukan bayinya.”

Air zamzam masih terus keluar dan dimanfaatkan oleh penduduk Makkah hingga kabilah Jurhum [5] meremehkan kehormatan Ka’bah dan negeri Haram, lalu tempat keluarnya air zamzam tersebut menghilang, dan ada yang berpendapat bahwa kabilah Jurhum yang telah mengubur sumber air zamzam tersebut ketika mereka pergi dari Makkah, dan ada juga yang mengatakan bahwa sumber air zamzam terkubur oleh banjir dan hal ini terus berlanjut masa demi masa hingga akhirnya dibuka kembali oleh ‘Abdul Muththalib bin Hasyim, kakek Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan mengetahui berbagai tanda hingga diketahui tempatnya, yaitu ketika ia diingatkan dalam satu mimpi di saat tidurnya, lalu ia diperintahkan untuk menggalinya, maka digalilah dan terpancarlah air zamzam tersebut.” [6]

Sesungguhnya sejak masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam hingga saat ini, kaum Muslimin sangat memperhatikan zamzam. [7] Para khalifah dan para ulama serta para pemimpin kaum Muslimin sangat ingin membangun sumur zamzam, merenovasi dan memeliharanya dengan baik agar para jama’ah Haji dan para peziarah negeri Haram mendapatkan kemudahan dalam meminumnya secara leluasa.

Adapun sebab air tersebut dinamakannya dengan zamzam adalah karena faktor banyak dan melimpahnya, dan zamzam menurut orang Arab adalah melimpah dan mengumpul, juga ada pendapat lain, yaitu karena Hajar, Ibu Isma’il, mengumpulkannya ketika air tersebut keluar, lalu ia membuatkan sesuatu semacam kolam, juga ada pendapat lain, yaitu karena suara airnya yang bergemuruh dan meluap-luap ketika keluar, serta beberapa pendapat lainnya. [8] Air zamzam mempunyai banyak nama yang menunjukkan pada keagungan dan keutamaannya, di antaranya adalah Maimunah, Mubarakah, 'Afiyah dan Maghdziyah. [9]

Keistimewaan Air Zamzam
Di antara keutamaan air zamzam dan keberkahannya adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengisitimewakannya dengan kekhususan-kekhususan yang mulia, yang terpenting adalah:

1. Air zamzam merupakan air terbaik di dunia, baik ditinjau dari segi syari’at secara agama maupun kesehatan.

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"خَيْرُ مَاءٍ عَلَى وَجْدِ اْلأَرْضِى مَاءُ زَمْزَمَ."

“Sebaik-baik air yang ada di muka bumi adalah air zamzam.” [10]

Dan diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Abu Dzarr Radhiyallahu anhu -pada kisah Isra’ dan Mi’raj- bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"فَنَزَلَ جِبْرِيْلُ q فَفَرَّجَ صَدْرِي ثُمَّ غَسَلَهُ بِمَاءٍ زَمَزَمَ."

“Maka Jibril Alaihissallam turun lalu membelah dadaku, kemudian ia mencucinya dengan air zamzam...” [11]


Al-‘Aini berkata: “Hal ini menunjukkan dengan pasti akan keutamaannya, dimana pencucian dada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dikhususkan dengan memakai air zamzam tanpa selainnya.” [12] Oleh karena itu Sirajjudin al-Balqini [13] berkata, “Sesungguhnya air zamzam lebih baik dari air al-Kautsar dengan dasar karena dipakai untuk mencuci dada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidaklah dadanya dicuci kecuali dengan air yang terbaik.” [14]

Secara lahiriyah bahwa pemuliaan air zamzam dinisbatkan dengan air-air yang ada di dunia saja seperti yang dikatakan oleh beberapa ulama. Karena air al-Kautsar (salah satu sumber air di Surga-Ed) termasuk yang menyangkut hari Akhir, maka tidak dapat dibandingkan dengan salah satu bagian dari air-air di dunia. [15] Sebagaimana hadits yang memuliakannya, “Sebaik-baik air di muka bumi adalah air zamzam” menunjukkan hal tersebut.
Wallaahu a’lam.

Hafizh al-‘Iraqi [16] menyebutkan bahwasanya hikmah dibalik pencucian dada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan air zamzam adalah agar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi kuat dalam memandang Malaikat-Malaikat langit dan bumi, Surga dan Neraka, karena dari keistimewaan air zamzam bahwasanya ia dapat meneguhkan hati dan menenteramkan perasaan. [17] Dan akan lebih jelas -insya Allah- pada apa yang menunjukkan atas keutamaan air zamzam dari segi kedokteran (medis). [18]

2. Mengenyangkan peminumnya seperti makanan.

Imam Muslim telah meriwayatkan tentang kisah Abu Dzarr Radhiyallahu anhu bahwasanya ketika ia mendatangi Makkah untuk masuk Islam, ia menetap disana selama 30 hari antara malam dan siang di dalam Masjidil Haram, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya padanya, “Siapakah yang telah memberimu makan?” Ia (Abu Dzarr) menjawab, “Aku tidak mempunyai makanan kecuali air zamzam, lalu aku menjadi gemuk hingga berlemak, [19] perutku berlipat-lipat, aku tidak mendapatkan tanda-tanda kelaparan di atas dadaku.” [20] Maka, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

"إِنَّهَا مُبَارَكَةٌ إِنَّهَا طَعَامُ طُعْمٍ."

“Sesungguhnya ia (air zamzam) diberkahi, ia (juga) merupakan makanan yang berselera.” [21]

Ibnul Atsir berkata, “Sesuatu yang mengenyangkan manusia jika ia meminum airnya seperti ia kenyang dari makanan.” [22] Ibnul Qayyim berkata, “Tentang keistimewaan air zamzam, aku menyaksikan sebagian orang mengkonsumsinya beberapa hari, kira-kira hampir setengah bulan atau lebih dan ia tidak merasakan kelaparan, lalu ia mengikuti Thawaf bersama orang-orang, dikabarkan kepadaku bahwa seandainya ia tetap seperti itu hingga 40 hari lagi, ia akan mempunyai kekuatan dalam melakukan jima’ dengan isterinya, puasa dan Thawaf terus menerus.” [23]

3. Berobat dari berbagai penyakit dengan meminumnya.
Berdasarkan hadits marfu’ dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma : “Sebaik-baik air di dunia ini adalah air zamzam, di dalamnya terdapat makanan yang diinginkan dan obat bagi penyakit.” [24]

Abu Dzarr meriwayatkan suatu hadits dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

"زَمْزَمُ طَعَامُ طُعْمٍ وَشِفَاءُ سُقْمٍ."
‘Zamzam adalah makanan yang berselera dan obat dari berbagai penyakit.’”

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"إِنَّ الْحُمَّى مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ فَأَبْرِ دُوْهَا بِمَاءٍ زَمْزَمَ."

“Sesungguhnya sakit demam termasuk dari panasnya Neraka Jahannam, maka dinginkanlah dengan air zamzam.” [25]
Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya aku telah mencobanya, begitu pula yang lainnya, berobat dengan air zamzam (sungguh) hal yang menakjubkan, dan aku sembuh dari berbagai penyakit dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala.” [26]

4. Bahwasanya air zamzam adalah menurut niat peminumnya.

Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah Radhiyallahu anhu bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"زَمْزَمُ لِمَا شُرِبَ لَهُ."

“Zamzam menurut apa yang diinginkan oleh peminumnya.” [27]

Dan diriwayatkan dari Mujahid [28] rahimahullah bahwasanya ia berkata, “Air zamzam menurut dari niat peminumnya, jika engkau meminumnya untuk kesembuhan, maka Allah akan menyembuhkanmu dan apabila engkau meminumnya karena kehausan, maka Allah akan memuaskanmu dan apabila engkau meminumnya karena kelaparan, maka Allah akan mengenyangkanmu, ia adalah usaha dari Jibril Alaihissallam, [29] dan pemberian (air minum) Allah kepada Isma’il Alaihissallam.” [30]

Sesungguhnya ulama-ulama besar dan lainnya telah meminum air zamzam dengan maksud-maksud yang berbeda-beda seperti untuk mendapatkan ilmu yang berguna, menghafal hadits, karya yang baik, berobat dari berbagai penyakit, mengetahui suatu ke-gemaran seperti memanah, atau sebagai penangkal dahaga pada hari Kiamat kelak, serta berbagai manfaat dunia dan akhirat lain-nya. Kemudian mereka mendapatkan apa yang mereka minta sesuai dengan niat mereka -seperti yang telah dikabarkan dari sebagian mereka- [31] dan kita berharap sampainya maksud bagi siapa yang meminta apa yang ada di akhirat seperti yang memi-numnya karena haus di hari Akhirat nanti, tidak dapat dihitung keshahihan kabar-kabar yang diriwayatkan ini -secara global- (menguatkan shahihnya hadits air zamzam sesuai dengan niat peminumnya) padahal sanadnya telah shahih) [32] seperti yang telah kita lewati, apa yang menguatkan hal tersebut pada dua keistime-waan yang terakhir dari sifat air zamzam sebagai makanan dan obat penyembuh.

Dan memperoleh manfaat-manfaat tersebut bagi peminumnya adalah -tanpa ragu dan bimbang- dengan taufiq Allah, pertolongan dan rahmat-Nya, hal tersebut merupakan suatu jaminan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala pada air zamzam bahwa ia memiliki keberkahan dan manfaat terutama bagi mereka yang mempunyai niat yang benar.

Telah diriwayatkan dari Ibnul ‘Arabi, [33] bahwa ia berkata tentang manfaat air zamzam, “(Manfaat) ini akan ada padanya hingga akhir zaman bagi siapa yang niatnya benar, hati nuraninya lurus, tidak berdusta padanya, dan tidak pula meminumnya hanya untuk coba-coba, karena Allah bersama orang-orang yang bertawakkal dan Allah membuka aib orang-orang yang hanya coba-coba.” [34]

5. Dan di antara keistimewaan yang lain dari air zamzam adalah yang disebutkan oleh Iman az-Zarkasyi bahwasanya Allah mengistimewakannya dengan mengasinkannya agar yang menjadi pendorong dan motifatornya adalah pancaran iman.
Kalaulah Allah menjadikannya tawar, maka kebutuhan sebagai manusia biasa akan mengungguli imannya dalam meminumnya. [35]

Maksudnya adalah apa yang dikatakan oleh salah seorang ulama, “Rasanya tidak terasa segar dan tawar, agar meminumnya sebagai ibadah bukan kebutuhan.” [36]

Sesungguhnya az-Zarkasyi juga telah menyebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengagungkan air zamzam pada musim Haji, [37] dan memperbanyak hal-hal ajaib di luar kebiasaan sumur-sumur lain dan terasa manis. Lalu ia melanjutkan, “Kita dan orang lain telah menyaksikan itu semua.” [38] Dan yang perlu diperhatikan adalah murninya air zamzam dan tidak tercampur oleh hal-hal lain di setiap saat, hal itu telah dibuktikan oleh penelitian modern. Akhir-akhir ini para peneliti melaksanakan penelitian mereka dengan mengambil zat-zat yang terkandung dalam air zamzam, maka didapatkan bahwa air tersebut tidak pernah tercampur oleh sesuatu apapun di setiap waktu yang akan mengurangi kemurnian zatnya yang langsung diambil dari sumur zamzam atau mengurangi kemaslahatannya untuk diminum, yang demikian ini dilihat dari segala bentuk ukuran yang dilakukan padanya. [39]

Oleh karena itu, Pusat Kesehatan Jantung Arab Saudi melaksanakan pencucian jantung orang sakit dengan memakai air zamzam yang suci sebagai pengganti dari zat-zat klinis seperti yang diungkapkan oleh salah satu majalah, [40] inilah keistimewaan-keistimewaan penting air zamzam yang diberkahi, sesungguhnya para ulama telah menyebutkan keistimewaan dan kelebihan lain yang membutuhkan landasan dalil yang shahih.

Saya menutup pembahasan ini dengan perkataan Ibnul Qayyim tentang keutamaan air zamzam dan kemuliaannya atas yang lainnya: “Air zamzam adalah air yang termulia, terbaik dan yang teragung kedudukannya, sangat dicintai oleh jiwa manusia, sangat mahal harganya dan sangat berharga bagi manusia, ia merupakan hasil usaha Malaikat Jibril Alaihissallam dan pemberian minum dari Allah untuk Isma’il.” [42]

[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Ia adalah Jibril Alaihissallam seperti yang disebutkan pada riwayat yang lain dari al-Bukhari rahimahullah.
[2]. Yaitu menjadikannya seperti kolam (telaga) agar air tidak terus mengalir. ‘Umdatul Qaari (XV/257).
[3]. Dengan memfat-hahkan mim, yang artinya mengalir di atas bumi. ‘Umdatul Qari (XV/253).
[4]. Shahih al-Bukhari (IV/113) kitab Ahaaditsul Anbiyaa’.
[5]. Mereka berasal dari al-Qahthaniyah, awalnya tempat tinggal mereka adalah negeri Yaman, lalu mereka pindah ke Hijaz dan menetap di sana, kemudian ke Makkah dan menjadikan negeri tersebut sebagai tempat tinggal. Mu’jam Qabaa-ilil ‘Arab al-Qadiimah wal Haditsah, ‘Umar Ridha Kuhalah (I/183).
[6]. Dari kitab Syifaa-ul Gharaam bi Akhbaaril Baladil Haraam, al-Farisi al-Makki (I/247-248) dan al-Jaami’ul Lathiif, Ibnu Zhahirah (hal. 259) dengan sedikit perubahan.
[7]. Bukan menjadi rahasia lagi pada masa sekarang mengenai perhatian yang besar dari pemerintah Saudi -semoga Allah senantiasa menunjukkannya kepada kebaikan- terhadap zam-zam, lihat jika perlu mengenai usaha besar yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk membangun sumur zam-zam dan menyediakan airnya bagi peziarah negeri haram, dalam ketetapan Wakaalatul Anba’ Saudi tertanggal 13/12/1406 H dan juga bisa dilihat dalam buku memorial Wakaalatul Anba’ hal. 47-51, cet. tahun 1408 H.
[8]. Lihat kitab Mu’jamul Buldaan, al-Hamawu (III/147), kitab Syifaa-ul Gharaam, al-Fasi (I/252), Tuhfatur Raaki’ was Saajid fii Ahkaamil Masajid, Abu Bakr al-Jara’i (hal. 57).
[9]. Lihat Mu’jamul Buldaan, al-Hamawi (III/148), Syifaa-ul Gharaam, al-Fasi (I/251-252) dan Tuhfatur Raaki’ was Saajid (hal. 58-60).
[10]. Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir (XI/98). Al-Hafizh al-Mundziri berkata: “Diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir dan para perawinya dapat dipercaya, Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya.” At-Targhiib wat Tarhiib, karya al-Mundziri (II/209).
Demikian juga yang dikatakan oleh al-Haitsami. Lihat Majma’uz Zawaa-id (III/286). Imam as-Suyuthi mengatakan hadits ini hasan, al-Jaami’ush Shaghiir (II/10). Al-Albani berkata, “Paling kurang sanadnya hasan.” Silsilah al-Ahaadits ash-Shahiihah (III/45). Dan saya tidak menemukan hadits ini di dalam kitab Shahih Ibni Hibban.
[11]. Shahih al-Bukhari (II/167) kitab haji bab riwayat-riwayat tentang zamzam.
[12]. ‘Umdatul Qaari (IX/277).
[13]. Beliau adalah ‘Umar bin Ruslan bin Nashir al-Kinani al-‘Asqalani lalu al-Baqini al-Mishri asy-Syafi’i Abu Hafs Sirajjudin, hafizh, faqih , seorang mujtahid, memiliki beberapa karya tulis, di antaranya Mahaasinul Ishthilaah fil Hadiits, al-Ajwibah al-Mardhiyah ‘alal Masaa-il al-Makkiyah, wafat di Kairo tahun 805 H.
[14]. Syifaa-ul Gharaam, al-Fasi (I/252).
[15]. Lihat al-Jaami’ul Lathiif, Ibnu Zhahirah (hal. 268).
[16]. Beliau adalah ‘Abdurrahim bin al-Husain bin ‘Abdirrahman al-‘Iraqi Abul Fadhl Zainuddin, imam yang terkenal dengan nama al-Hafizh al-‘Iraqi, ia merupakan seorang hafizh pada masanya, sibuk dengan ilmu hadits dan menguasainya, mempunyai beberapa karya, di antaranya al-Alfiyah fii Mush-thalahil Hadiits, Nuzhuumu Ghariibil Qur-aan, Taqriibul Asaanid wa Tartiibul Masaanid, wafat tahun 806 H di Kairo, lihat Thabaqatul Huffaazh, as-Suyuthi (hal. 543), Syadzaaraatudz Dzahaab (VII/55) dan al-Badaruth Thaali’ (I/354) serta al-A’lam (III/344).
[17]. Syifaa-ul Gharaam, al-Fasi (I/252).
[18]. Ibid, (I/256).
[19]. Al-‘Ukanu adalah bentuk jamak dari ‘uknah ia merupakan lipatan yang terdapat diperut karena kegemukan. Jika dikatakan, “Ta’akkanal bathnu,” yaitu jika menjadi berlipat-lipat, diambil dari kitab ash-Shihah, al-Jauhari (VI/2165).
[20]. Yakni ttipis dan kurus. السَّخْفُ dengan memfat-hahkan sin, yaitu hidup yang ringan dan dengan mendhammahkannya berarti akal yang lemah. Dikata-kan bahwa ia adalah keringanan yang menyerang manusia bila lapar. Di antara arti kata dari as-sakhfu yaitu keringanan atau kelemahan pada akal maupun lainnya. An-Nihaayah, Ibnul Atsir (II/350).
[21]. Shahih Muslim (IV/1922) kitab keutamaan-keutamaan para Sahabat Radhiyallahu anhum bab di antara keutamaan Abu Dzarr Radhiyallahu anhu.
[22]. An-Nihaayah, Ibnul Atsir (III/125).
[23]. Zaadul Ma’aad, Ibnul Qayyim (IV/393).
[24]. Diriwayatkan oleh ath-Thayalisi dalam Musnadnya. Lihat Minhaatul Ma’buud fii Tartiibi Musnaadith Thayalisi, Abu Dawud (II/203). Diriwayatkan juga oleh al-Bazzar, lihat Kasyful Astaar ‘an Zawaa-idil Bazzar (II/47). Al-Mundziri berkata, “Diriwayatkan dari al-Bazzar dengan sanad yang shahih.” At-Tar-ghiib wat Tarhiib (II/209), al-Haitsami berkata, “Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan ath-Thabrani dalam ash-Shagiir, dan para perawinya shahih.” Majmaa-uz Zawaa-id wa Manbaa’ul Fawaa-id, al-Haitsami (III/286), as-Suyuthi memberikan hukum bahwa ia shahih. Al-Jaami’ush Shagiir (II/28), hadits ini diriwayatkan dalam kitab Imam Muslim seperti yang telah berlalu.
[25]. Diriwayatkan oleh Iman Ahmad dalam Musnadnya (I/391), Ibnu Hibban dalam Shahihnya (al-Ihsaan bi Tartiib Shahiih Ibni Hibban) (VII/623) kitab ath-Thibb. Dan diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam Shahihnya tanpa jazam (“maka dinginkanlah dengan air” atau “dengan air zamzam”) Hamam, salah seorang perawinya merasa ragu. Telah ada hadits-hadits dalam masalah ini (“maka dinginkanlah dengan air”), sebagian ulama berkata, “Sesungguhnya maksud disebutkan dalam hadits ini, dengan air zamzam bagi penduduk Makkah, karena lebih mudah bagi mereka dari yang lainnya. Adapun selain mereka, maka dengan air yang ada pada mereka, wallaahu a’lam. Al-Fat-hur Rabbaani li Tartiib Musnad Iman Ahmad bin Hanbal asy-Syaibani, Ahmad bin ‘Abdirrahman al-Banna (XVII/159), lihat at-Thibbun Nabawi, Ibnul Qayyim (hal. 22).
[26]. Zaadul Ma’aad, Ibnul Qayyim (IV/393).
[27]. Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunannya (II/1018) kitab al-Manasik bab asy-Syurbu min Zamzam, Imam Ahmad dalam Musnadnya (III/357), ad-Dimyati berkata, “Diriwayatkat oleh Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang hasan.” Al-Muttajar ar-Rabih fii Tsawaabil Amalish Shaalih, ad-Dimyati (hal. 318) bab Tsawaabu Syurbi Maa-i Zamzam. Ibnul Qayyim ber-kata, “Hadis ini hasan.” Zaadul Ma’aad (IV/393). Az-Zarkasyi berkata, “Hadits ini juga diriwayatkan dari beberapa jalan yang shahih.” I’lamus Saajid bi Ahkaamil Masaajid (hal. 206), as-Suyuthi berkata, “Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dengan sanad yang baik.” Al-Hawi lil Fataawaa (II/81). Al-Albani berkata, “Shahih.” Irwaa-ul Ghaliil fii Takhriiji Ahaadits Manaaris Sabiil (IV/320).
[28]. Namanya adalah Mujahid bin Jabr al-Makki Abul Hajjaj al-Makhzumi al-Muqri al-Mufassir al-Hafizh. Sahabat dari as-Saib bin Abi Sa’id al-Faqih, sangat berhati-hati dan suka beribadah. Mujahid berkata, “Aku membaca al-Qur-an di hadapan Ibnu ‘Abbas sebanyak 3 kali bacaan, aku berhenti pada setiap ayat dan bertanya kepada beliau tentang apa ayat ini turun dan bagai-mana ia turun. Wafat tahun 103 H. Lihat Tadzkiiratul Huffaazh (I/92), Tahdziibut Tahdziid (X/42) dan Thabaqaatul Huffaazh, as-Suyuti (hal. 42).
[29]. Yakni dengan menghentakkan dengan kakinya lalu keluarlah air. Al-Hazmah adalah lubang pada dada, hazamtul bi’-r yaitu menggali sumur. An-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits wal Atsaar, Ibnul Atsir (V/263).
[30]. Diriwayatkan oleh Imam ‘Abdurrazzaq dalam al-Mushannif (V/118) dan al-Azraqi dalam Akhbaaru Makkah wa maa Jaa-a fii Hamnal Atsaar (II/50), lafazh ini darinya. Diriwayatkan pula oleh ad-Daraquthni dalam Sunannya (II/289), secara marfuu’ dari Mujahid dan Ibnu ‘Abbas c namun sanadnya lemah. Al-Albani berkata, “Yang benar adalah mauquf pada Mujahid.” Lalu ia mengatakan bahwa jikalau dikatakan, maka sesunguhnya ia tidak dika-takan dari akal semata. Oleh karena itu, ia dalam hukum marfu’, jika ini diterima, maka ia termasuk dalam hukum mursal, dan itu adalah lemah, wallaahu a’lam. Lihat Irwaa-ul Ghaliil (IV/329-332), al-Maqaashid al-Hasanah fii Bayaani Kastir minal Ahaaditsi Masyhuurati ‘alal Sinah, asy-Syakhawi (hal. 375), Kanzul Ummal fii Sunanil Aqwaal wal Af’aal, ‘Alauddin al-Hindi (XII/224).
[31]. Lihat Zaadul Ma’aad, Ibnul Qayyim (IV/393), Syifaa-ul Gharaam, al-Fasi (I/255), al-Maqaasidul Hasanah, as-Sakawi (hal. 357) dan al-Jaami’ul Lathiif, Ibnu Zhahirah (hal. 264-267).
[32]. Al-Jaami’ul Lathiif, Ibnu Zhahirah (hal. 267).
[33]. Beliau adalah Muhammad bin ‘Abdillah bin Muhammad Abu Bakar yang dikenal dengan sebutan Ibnul ‘Arabi al-Asyibili al-Maliki, seorang imam dan ulama, al-Hafizh, hakim yang sangat faqih, berilmu, zahid dan rajin ibadah. Mempunyai beberapa karya tulis, yaitu kitab tafsir yang terkenal, ‘Ariidhatul Ahwadzi fii Syarh Jaami’ at-Tirmidzi, al-Mahshuul fil Ushuul, wafat th. 543 H. Lihat Wafaayatul A’yaan (IV/296), Siyar A’lamin Nubalaa’ (XX/197), Tadzkiiratul Huffaazh (IV/1294) dan Syadzaaraatudz Dzahab (IV/141).
[34]. Lihat al-Jaami’ li Ahkaamil Qur-aan, al-Qurthubi (IX/370).
[35]. I’lamus Saajid bi Ahkaamil Masaajid, az-Zarkasyi (hal. 206).
[36]. Diriwayatkan dari Syaikh ‘Abdullah bin Hamid dalam kitab Hidaayatun Nasik ila Ahammil Manaasik (hal. 51), dari Ibnu ‘Arafah.
[37]. Yakni pada musim Haji.
[38]. I’laamus Saajid, az-Zarkasyi (hal. 206).
[39]. Dari keputusan Wakaalatul Anba’ as-Su’udiyyah tahun 1406 H, khususnya zamzam, didapatkan dalam kandungan buku memorial Wakaalatul Anba’ as-Su’udiyyah yang terbit tahun 1408 H (hal. 58). Lihat juga buku tentang zamzam, Tha’aamu Thu’m wa Syifaa-u Suqmin, Ir. Yahya Hamzah Kusyak (hal. 109 dan setelahnya), penulis menyebutkan beberapa tabel untuk me-ngetahui kandungan air zamzam dan penerimaannya terhadap semacamnya dari sumur-sumur yang ada di dekatnya.
[40]. Lihat majalah ‘Arab edisi 127 (hal. 98) bulan Sya’ban 1408 H.
[41]. Lihat Akhbaaru Makkah, al-Azraqi (II/59), I’laamus Saajid, az-Zarkasyi (hal. 206), Syifaa-ul Gharaam, al-Fasi (II/256).
[42]. Zaadul Ma’aad (IV/392).

Rabu, 28 November 2012

Kategori Dakwah : Perpecahan !

Sikap Seorang Muslim Terhadap Perselisihan

Rabu, 22 Agustus 2012 23:22:28 WIB

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al-Atsari


Hikmah Allâh Azza wa Jalla menetapkan adanya perbedaan dan perselisihan diantara manusia. Diantara penyebabnya adalah adanya perbedaan ilmu, kecerdasan, sifat, pengalaman, lingkungan, dan lain-lainnya. Oleh karena itu perselisihan merupakan takdir Allâh Subhanahu wa Ta’alayang pasti terjadi. Karena perselisihan sudah terjadi dan pasti akan terus terjadi, maka sangat penting bagi kita memahami beberapa hal yang berkait dengan masalah ini, sehingga kita bisa menyikapinya dengan benar. Semoga tulisan singkat ini bisa menambah wawasan kita seputar masalah yang besar ini.

APA HIKMAH ADANYA PERSELISIHAN?
Semua takdir Allâh Azza wa Jalla pasti mengandung hikmah, karena Allâh Azza wa Jalla adalah al-Hakîm (Yang Maha Bijaksana). Allâh Subhanahu wa Ta’ala telah memberitakan kepada kita tentang hikmah penciptaan dalam beberapa ayat al-Qur’ân, diantaranya adalah:

تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ

Maha suci Allâh yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya, dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. [al-Mulk/67: 1-2]

Juga firman-Nya yang artinya, "Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya." [Hûd/11: 7]

Juga firman-Nya, "Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang lebih baik perbuatannya. [al-Kahfi/18: 7]

Ayat-ayat ini menunjukkan bahwa diantara hikmah Allâh Azza wa Jalla menciptakan makhluk ini adalah sebagai ujian bagi manusia, agar tampak siapakah di antara mereka yang lebih baik perbuatannya. Termasuk adanya perselisihan bahkan perpecahan diantara manusia atau bahkan di antara kaum muslimin, adalah sebagai ujian siapa di antara mereka yang paling baik perbuatannya.

Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata, “Yaitu agar Allâh Azza wa Jalla menguji kamu. Karena Dia telah menciptakan apa saja yang ada di langit dan di bumi dengan disertai perintah-Nya dan laranganNya, lalu Dia akan melihat siapa diantara kamu yang paling baik perbuatannya. Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata, ‘Yang paling ikhlas dan paling shawab (benar)’. Beliau ditanya, ‘Hai Abu ‘Ali, apakah (yang dimaksud dengan) ‘yang paling ikhlas dan paling shawab (benar)?’ Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya amalan itu jika ikhlas, tetapi tidak benar, tidak akan diterima. Dan jika benar, tetapi tidak ikhlas, tidak akan diterima. Amal akan diterima jika ikhlas dan benar. Ikhlas maksudnya amalan itu untuk wajah Allâh dan benar maksudnya amalan itu mengikuti syari’at dan sunnah”. [Taisîr Karîmir Rahmân, surat Hûd, ayat ke-7]

MACAM-MACAM PERSELISIHAN DAN HUKUM ORANG YANG BERSELISIH
Perselisihan itu banyak jenisnya. Oleh karena itu merupakan kesalahan ketika seseorang mengatakan bahwa semua perselisihan itu buruk dan tercela. Juga ketika seseorang mengatakan bahwa semua perselisihan itu boleh, bahkan merupakan rahmat. Yang benar adalah mensikapi perselisihan itu sesuai dengan sebab-sebab perselisihan itu. Ada beberapa bentuk perselisihan di antara manusia sebagai berikut :

1. Bentuk atau jenis perselisihan yang terpenting dan terbesar adalah perselisihan (perbedaan) antara iman dengan kekafiran, antara ketaatan dengan kemaksiatan, antara al-haq dengan al-batil. Perselisihan jenis ini, salah satunya terpuji, sedangkan yang satu lagi tercela. Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ فَمِنْكُمْ كَافِرٌ وَمِنْكُمْ مُؤْمِنٌ

Dia-lah yang menciptakan kamu, maka di antara kamu ada yang kafir dan di antaramu ada yang mukmin. [at-Taghâbun/64: 2]

Juga firman-Nya:

تِلْكَ الرُّسُلُ فَضَّلْنَا بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ ۘ مِنْهُمْ مَنْ كَلَّمَ اللَّهُ ۖ وَرَفَعَ بَعْضَهُمْ دَرَجَاتٍ ۚ وَآتَيْنَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ الْبَيِّنَاتِ وَأَيَّدْنَاهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ ۗ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ مَا اقْتَتَلَ الَّذِينَ مِنْ بَعْدِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَلَٰكِنِ اخْتَلَفُوا فَمِنْهُمْ مَنْ آمَنَ وَمِنْهُمْ مَنْ كَفَرَ

Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian (dari) mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allâh berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allâh meninggikannya beberapa derajat. Dan Kami berikan kepada Isa putera Maryam beberapa mukjizat serta Kami perkuat dia dengan Ruhul Qudus. Dan kalau Allâh menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah Rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. [al-Baqarah/2: 253]

Perselisihan ini terjadi dengan kehendak dan takdir Allâh Azza wa Jalla , dan Allâh memiliki hikmah yang sempurna dalam semua takdirnya. Dan dari sebab perselisihan ini muncul sikap saling membenci, memisahkan diri, bahkan saling memerangi. Walaupun orang-orang beriman dilarang berbuat zhalim kepada siapapun. Karena perselisihan yang disebabkan iman dan kekafiran ini adalah perselisihan pokok. Perselisihan ini akan terus berlangsung, perselisihan antara al-haq dengan al-batil, antara wali-wali Allâh dengan musuh-musuh-Nya, antara hizbullah (golongan Allâh) dengan hizbusy syaithan (golongan setan).
Kebenaran yang ada dari perselisihan jenis ini jelas berada di pihak para Rasul dan pengikut mereka. Maka barangsiapa ingin selamat, bahagia, dan ingin sukses, hendaklah dia bergabung dengan pihak ini. Barangsiapa berada di pihak yang lain, maka dia telah menentang Allâh dan Rasul-Nya. Allah berfirman :

ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ شَاقُّوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ وَمَنْ يُشَاقِقِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَإِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

(Ketentuan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allâh dan Rasul-Nya; dan barangsiapa menentang Allâh dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allâh Amat keras siksaan-Nya. [al-Anfâl/8: 13)]

Perbedaan yang jelas ini juga berdampak pada kondisi akhir masing-masing golongan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

هَٰذَانِ خَصْمَانِ اخْتَصَمُوا فِي رَبِّهِمْ ۖ فَالَّذِينَ كَفَرُوا قُطِّعَتْ لَهُمْ ثِيَابٌ مِنْ نَارٍ يُصَبُّ مِنْ فَوْقِ رُءُوسِهِمُ الْحَمِيمُ يُصْهَرُ بِهِ مَا فِي بُطُونِهِمْ وَالْجُلُودُ وَلَهُمْ مَقَامِعُ مِنْ حَدِيدٍكُلَّمَا أَرَادُوا أَنْ يَخْرُجُوا مِنْهَا مِنْ غَمٍّ أُعِيدُوا فِيهَا وَذُوقُوا عَذَابَ الْحَرِيقِإِنَّ اللَّهَ يُدْخِلُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ يُحَلَّوْنَ فِيهَا مِنْ أَسَاوِرَ مِنْ ذَهَبٍ وَلُؤْلُؤًا ۖ وَلِبَاسُهُمْ فِيهَا حَرِيرٌ

Inilah dua golongan (golongan mukmin dan golongan kafir) yang bertengkar, mereka saling bertengkar mengenai Rabb mereka. Maka orang-orang kafir akan dibuatkan untuk mereka pakaian-pakaian dari api neraka. Disiramkan air yang sedang mendidih ke atas kepala mereka. Dengan air itu dihancur luluhkan segala apa yang ada dalam perut mereka dan juga kulit (mereka). Dan untuk mereka cambuk-cambuk dari besi. Setiap kali mereka hendak ke luar dari neraka lantaran kesengsaraan mereka, niscaya mereka dikembalikan ke dalamnya. (kepada mereka dikatakan), "Rasailah azab yang membakar ini". Sesungguhnya Allâh memasukkan orang-orang beriman dan mengerjakan amal yang saleh ke dalam surga-surga yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah sutera. [Al-Hajj/22: 19-23]

Dan perlu diketahui bahwa mayoritas manusia berada dalam golongan setan, sebagaimana firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّ السَّاعَةَ لَآتِيَةٌ لَا رَيْبَ فِيهَا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يُؤْمِنُونَ

Sesungguhnya hari kiamat pasti akan datang, tidak ada keraguan tentangnya, akan tetapi kebanyakan manusia tiada beriman. [al-Mukmin/40: 59]

Juga firman-Nya, yang artinya, "Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allâh. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allâh). [al-An’âm/6: 116]

2. Di antara bentuk perselisihan atau perbedaan yang ada di kalangan manusia adalah perselisihan di antara agama-agama kafir. Dalam perselisihan jenis ini, semua pelakunya tercela, semuanya berada di dalam kesesatan, walaupun dengan derajat kesesatan yang berbeda-beda.

Allâh berfirman, yang artinya, "Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: "Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani". Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar".

(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allâh, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Rabbnya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

Orang-orang Yahudi berkata: "Orang-orang Nasrani itu tidak mempunyai suatu pegangan", dan orang-orang Nasrani berkata: "Orang-orang Yahudi tidak mempunyai sesuatu pegangan," Padahal mereka (sama-sama) membaca al-Kitab. Demikian pula orang-orang yang tidak mengetahui, mengatakan seperti ucapan mereka itu. Maka Allâh akan mengadili diantara mereka pada hari kiamat, tentang apa-apa yang mereka berselisih padanya. [al-Baqarah/2: 111-113]

3. Diantara bentuk perselisihan atau perbedaan adalah perselisihan diantara umat Islam. Penyebabnya adalah perbedaan dalam berpegang kepada al-Qur’an dan As-Sunnah. Banyak kaum Muslim tidak berpegang kepada al-Qur’ân dan as-Sunnah dengan benar, sehingga terjerumus dalam berbagai kesesatan. Mereka menjalankan agama dengan sesuatu yang tidak disyari’atkan oleh Allâh Azza wa Jalla . Sebagian mereka memiliki keyakinan yang tidak ada dalilnya dari wahyu Allâh Azza wa Jalla , sehingga muncul berbagai firqah (golongan) di kalangan umat ini. Mereka membuat atau mengikuti berbagai bid’ah (perkara baru di dalam agama), lalu menganggapnya sebagai agama. Mereka berselisih satu sama lain, dan masing-masing golongan berbangga dengan perkara yang ada padanya.

Perselisihan antar golongan di kalangan umat Islam ini juga berbahaya, karena hal itu akan melemahkan mereka dan menghilangkan kewibawaan mereka. Bahkan golongan-golongan yang menyimpang dari Ahlus Sunnah, dari jalan yang telah ditempuh oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, mereka diancam dengan neraka, sebagaimana disebutkan di dalam hadits al-firqatun-najiyah sebagai berikut :

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ الْجَمَاعَةُ

Dari Auf bin Malik Radhiyallahu anhu , dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Orang-orang Yahudi telah bercerai-berai menjadi 71 kelompok, satu di dalam sorga, 70 di dalam neraka. Orang-orang Nashoro telah bercerai-berai menjadi 72 kelompok, 71 di dalam neraka, satu di dalam sorga. Demi (Allah) Yang jiwa Muhammad di tanganNya, umatku benar-benar akan bercerai-berai menjadi 73 kelompok, satu di dalam sorga, 72 di dalam neraka”. Beliau ditanya: “Wahai Rasûlullâh! siapa mereka itu?”, beliau menjawab, “al-Jama’ah”. [HR.Ibnu Majah no: 3992; Ibnu Abi Ashim, no: 63; Al-Lalikai 1/101. Hadits ini berderajat Hasan. Dishahihkan oleh Al-Albani dalam Shahih Ibni Majah, no: 3226]

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِي مَا أَتَى عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلَانِيَةً لَكَانَ فِي أُمَّتِي مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي

Dari Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu, dia berkata: Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh umatku akan ditimpa oleh apa yang telah menimpa Bani Israil, persis seperti sepasang sandal. Sehingga jika diantara mereka ada yang menzinahi ibunya terang-terangan, dikalangan umatku benar-benar ada yang akan melakukannya. Dan sesungguhnya Bani Isra’il telah bercerai-berai menjadi 72 agama, dan umatku akan bercerai-berai menjadi 73 agama, semuanya di dalam neraka kecuali satu agama”. Para sahabat bertanya: “Siapa yang satu itu wahai Rasulullah?”, beliau menjawab: “Apa yang saya dan para sahabatku berada di atasnya”. [Hadits Shahih Lighairihi riwayat Tirmidzi, al-Hâkim, dan lainnya. Dishahihkan oleh Imam Ibnul Qayyim dan asy-Syathibi, dihasankan oleh al-Hafizh al-‘Iraqi dan Syaikh al-Albani. Syeikh Salim al-Hilali menulis kitab khusus membela hadits ini dalam sebuah kitab yang bernama “Daf’ul Irtiyab ‘An Haditsi Maa Ana ‘Alaihi Wal Ash-hab]

Perselisihan di kalangan umat Islam ini dari satu sisi menyerupai perselisihan antara kaum Mukminin dengan orang-orang kafir, karena perselisihan antara Ahlus Sunnah dengan semua ahli bid’ah adalah perselisihan tadhad (kontradiksi). Ahlus Sunnah di tengah-tengah ahli bid’ah adalah seperti umat Islam di tengah-tengah orang-orang kafir. Meski jumlah mereka sedikit, namun kebenaran selalu berada di pihak Ahlus Sunnah, yaitu orang-orang yang berpegang dengan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Sedangkan ahli bid’ah tetap dalam penyimpangan mereka. Penyimpangan mereka bervariasi, semakin jauh dari Sunnah, maka kesesatan mereka juga semakin besar. Semakin dekat kepada Sunnah, kesesatan mereka semakin sedikit.

Perselisihan di antara umat Islam ini benar-benar terjadi, bahkan telah dijelaskan oleh al-Qur’ân dan as-Sunnah. Karena Allâh Azza wa Jalla telah memberitakan bahwa umat-umat zaman dahulu telah berpecah-belah, sebagaimana firman-Nya :

وَمَا تَفَرَّقُوا إِلَّا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ

Dan mereka (ahli Kitab) tidak berpecah belah, kecuali setelah datang pada mereka ilmu pengetahuan, karena kedengkian di antara mereka. [asy-Syûra/42:14]

Sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberitakan bahwa sebagian umat ini pasti akan mengikuti perilaku umat-umat zaman dahulu, termasuk perbuatan mereka yang berselisih dan berpecah belah.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ؟

Dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Kamu benar-benar akan mengikuti jalan-jalan orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal, sehasta demi sehasta. Sehingga seandainya mereka melewati lobang dhob (satu jenis kadal pasir), kamu benar-benar juga akan melewatinya”. Kami (para sahabat) bertanya: “Wahai Rosululloh, apakah anda maksudkan orang-orang Yahudi dan Nashoro?” Beliau menjawab: “Siapakah selain mereka?” [HR. Bukhari, no: 3456; Muslim, no: 2669]

Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alu Syaikh mengatakan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghendaki bahwa umatnya tidaklah meninggalkan sesuatupun yang telah dilakukan oleh orang-orang Yahudi dan Nashoro kecuali umat ini melakukan semuanya. Mereka tidak akan meninggalkan sesuatupun darinya. Oleh karena itulah Sufyan bin ‘Uyainah berkata: “Orang yang rusak di antara ulama kita, maka padanya terdapat perserupaan dengan Yahudi. Dan orang yang rusak di antara ahli ibadah kita, maka padanya terdapat perserupaan dengan dan Nashoro”. Alangkah banyaknya dua kelompok ini. Akan tetapi di antara rohmat Alloh dan nikmatNya, tidak menjadikan umat ini tidak akan bersatu di atas kesesatan”.[Fathul Majid, hal: 240, penerbit: Dar Ibni Hazm]

Di antara contoh hal ini adalah penjelasan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits sebagai berikut:

عَنْ عَرْفَجَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّهُ سَتَكُونُ هَنَاتٌ وَهَنَاتٌ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُفَرِّقَ أَمْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ وَهِيَ جَمِيعٌ فَاضْرِبُوهُ بِالسَّيْفِ كَائِنًا مَنْ كَانَ (وفي رواية: فَاقْتُلُوهُ )

Dari ‘Arfajah, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah n bersabda, “Akan terjadi musibah demi musibah. Maka barangsiapa ingin mencerai-beraikan umat ini, saat mereka bersatu, maka pukullah dia dengan pedang, siapapun dia”. (Dalam riwayat lain, “maka bunuhlah dia”. [HR. Muslim, kitab: Imaâah, no: 1852]

Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits ini terdapat perintah memerangi orang yang memberontak terhadap imam, atau ingin mencerai-beraikan kaum Muslimin atau perbuatan sejenis lainnya. Dia dilarang dari hal itu, jika dia tidak berhenti, maka dia diperangi. Jika kejahatannya tidak tertolak kecuali dengan membunuhnya, maka dia dibunuh, dan kematiannya sia-sia. Maka sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Maka pukullah dia dengan pedang”, pada riwayat lain, “Maka bunuhlah dia”, maksudnya, jika tidak tertolak kecuali dengan itu”. [Shahih Muslim, Syarh Nawawi 12/241-142]

4. Ada juga perselisihan di antara Ahlus Sunnah, namun perselisihan ini bukan dalam masalah-masalah pokok dalam aqidah, tidak sebagaimana perselisihan antar sesama ahli bid’ah, atau perselisihan ahli bid’ah dengan Ahlus Sunnah. Perselisihan sesama Ahlus Sunnah ini ada dua jenis :

a). Perselisihan tanawwu’ (perselisihan variasi), yaitu jenis perselisihan yang kedua pihak yang berselisih berada dalam kebenaran dan terpuji. Namun mereka akan berdosa jika berbuat zhalim terhadap pihak lain, atau mengingkari kebenaran yang ada di pihak lain. Contoh, kejadian yang dikisahkan dalam hadits di bawah ini :

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ سَمِعْتُ رَجُلاً قَرَأَ آيَةً سَمِعْتُ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِلاَفَهَا فَأَخَذْتُ بِيَدِهِ فَأَتَيْتُ بِهِ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ كِلاَكُمَا مُحْسِنٌ قَالَ شُعْبَةُ أَظُنُّهُ قَالَ لاَ تَخْتَلِفُوا فَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمُ اخْتَلَفُوا فَهَلَكُوا

Dari Abdullah (bin Mas’ud), dia berkata, “Aku mendengar seorang laki-laki membaca sebuah ayat, yang (bacaan)nya menyelisihi yang telah aku dengar dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka aku pegang tangannya, dan aku bawa kepada Rasûlullâh n , lalu beliau bersabda, “Kamu berdua telah berbuat sebaik-baiknya.” Syu’bah berkata: Aku sangka dia mengatakan: “Janganlah kamu berselisih, karena orang-orang sebelum kamu telah berselisih, lalu mereka binasa”. [HR. Bukhari no: 2410]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang perselisihan yang di dalamnya orang-orang yang berselisih menolak kebenaran yang ada pada pihak lain. Karena dua orang yang membaca (al-Qur’an) itu telah benar bacaan. Kemudian Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan alasan (larangan) tersebut adalah kebinasaan orang-orang sebelum kita akibat perselisihan”.

Syaikhul Islam rahimahullah juga bmengatakan: “Ketahuilah, bahwa mayoritas perselisihan antara umat, yang melahirkan hawa-nafsu, engkau dapati termasuk jenis ini, yaitu: setiap orang dari orang-orang yang berselisih itu benar, atau sebagiannya benar, tetapi dia keliru karena telah menafikan kebenaran yang ada pada orang lain.” [Iqtidhâ’ Shirâthil Mustaqîm]

b). Perselisihan tadhâd (perselisihan kontradiksi), perselisihan ini ada dua jenis:
1). Perselisihan kontradiksi dalam suatu masalah dan terdapat dalil tegas yang menunjukkan kebenaran satu pendapat dari pendapat-pendapat yang ada.
Dalam hal ini, pendapat yang benar adalah pendapat yang sesuai dengan dalil, yang lain salah. Namun jika orang-orang yang berselisih ini berijtihad, yakni berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencari kebenaran, dengan disertai keikhlasan, maka mereka semua terpuji dan mendapatkan pahala. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ ، وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ

Jika seorang hakim menghukumi, dia telah berijtihad, lalu ketetapannya sesuai dengan kebenaran, maka dia mendapatkan dua pahala. Dan jika dia menghukumi, dia telah berijtihad, lalu dia melekukan kesalahan, maka dia mendapatkan satu pahala. [HR. Bukhâri, no. 7352; Muslim, no.1716]

2). Perselisihan kontradiksi dalam suatu masalah dan tidak terdapat dalil tegas yang menunjukkan kebenaran salah satu dari dua pendapat yang berselisih.
Maka dalam masalah ini, kedua pendapat itu boleh diikuti dan semua pihak yang telah berijtihad terpuji dan mendapatkan pahala, wallahu a’lam bishh shawwab.
Contoh hal ini adalah sebuah peristiwa yang dikisahkan oleh sahabat Ibnu Umar Radhiyallahu anhu sebagai berikut :

قَالَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - لَنَا لَمَّا رَجَعَ مِنَ الأَحْزَابِ « لاَ يُصَلِّيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلاَّ فِى بَنِى قُرَيْظَةَ » . فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمُ الْعَصْرَ فِى الطَّرِيقِ فَقَالَ بَعْضُهُمْ لاَ نُصَلِّى حَتَّى نَأْتِيَهَا ، وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّى لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ . فَذُكِرَ لِلنَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمْ

Ketika kami telah kembali dari perang Ahzâb, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada kami, “Janganlah seseorang melakukan shalat Ashar kecuali di kampung Bani Quraizhah!”. Sebagian mereka (sahabat) mendapati waktu shalat Ashar di jalan, maka sebagian mereka berkata, “Kita tidak akan melakukan shalat Ashar sampai mendatanginya”. Sebagian yang lain berkata, “Kita melakukan shalat Ashar (sekarang), tidak dikehendaki dari kita hal itu (yakni shalat Ashar di kampung Bani Quraizhah walaupun habis waktunya-pen)”. Hal itu disampaikan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , dan beliau tidak menyalahkan seorangpun dari mereka. sampai mendatanginya”. [HR. Bukhâri, no. 946 dan 4119]

SOLUSI PERSELISIHAN
Kewajiban seorang Muslim adalah berpegang teguh denan al-Qur’ân dan as-Sunnah, dan bersikap adil dalam hukum dan perkataan. Bersikap adil dalam menghukumi antara orang Muslim dengan orang kafir, antara Ahlus Sunnah dengan ahlul bid’ah, antara orang yang taat dengan orang yang bermaksiat, dengan menerima kebenaran dari orang yang membawanya, jika telah nyata kebenarannya.

Tidak boleh fanatik kepada pendapat pribadinya, atau pendapat gurunya, atau pendapat siapapun yang menyelisihi al-Qur’ân dan as-Sunnah.

Dan kewajiban semua orang Muslim untuk mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan kepada al-Qur’ân dan as-Sunnah. Allâh Azza wa Jalla berfirman, yang artinya, "Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allâh dan ta'atilah Rasul-Nya, dan ulil amri (ulama dan umaro’) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allâh (al-Qur'ân) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allâh dan hari kemudian." (QS. an-Nisâ’/4:59)

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Allâh Azza wa Jalla perintahkan manusia agar mentaati-Nya dan mentaati Rasul-Nya. Allâh Subhanahu wa Ta’alamengulangi kata kerja (yakni: ta'atilah !) dalam rangka memberitahukan bahwa mentaati Rasul-Nya wajib secara otonomi, dengan tanpa meninjau ulang perintah beliau dengan al-Qur’an. Jika beliau memerintah, maka wajib ditaati secara mutlak, baik perintah beliau itu ada dalam al-Qur’ân atau tidak ada. Karena sesungguhnya beliau n diberi al-Kitab dan yang semisalnya.” [I’lâmul Muwaqqi’in 2/46), penerbit: Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 H]

Beliau rahimahullah juga berkata, “Kemudian Allâh memerintahkan orang-orang yang beriman agar mengembalikan apa yang mereka perselisihkan kepada kepada Allâh dan Rasul-Nya, jika mereka orang-orang yang beriman. Dan Allâh Azza wa Jalla memberitakan kepada mereka, bahwa itu lebih utama bagi mereka di dunia ini, dan lebih baik akibatnya di akhirnya. Ini memuat beberapa perkara :

a). Orang-orang yang beriman terkadang berselisih pada sebagian hukum. Perselisihan ini tidak menyebabkan mereka keluar dari iman, selama mereka mengembalikan apa yang mereka perselisihkan itu kepada Allâh (al-Qur'an) dan Rasul-Nya, sebagaimana yang disyaratkan oleh Allâh Azza wa Jalla . Dan sudah tidak diragukan lagi bahwa (jika) sebuah hukum ditetapkan dengan sebuah syarat (tertentu), maka hukum itu akan hilang seiring dengan hilangnya syarat.

b). Firman Allâh Azza wa Jalla yang artinya, "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu," mencakup seluruh masalah agama yang diperselisihkan oleh kaum Muslimin, baik yang kecil maupun yang besar, yang tampak jelas maupun yang masih samar.

c). Seluruh kaum Muslimin sepakat bahwa mengembalikan kepada Allâh maksdunya adalah mengembalikan kepada kitab-Nya; mengembalikan kepada Rasul-Nya (maksudnya) adalah mengembalikan kepada diri beliau di saat hidup beliau, dan kepada Sunnah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah wafat beliau.

d). Allâh Azza wa Jalla menjadikan keharusan mengembalikan seluruh perkara yang diperselisihkan kepada Allâh dan Rasul-Nya sebagai kewajiban dan konsekwensi iman. Jika ini tidak ada, maka iman hilang. [Diringkas dari I’lamul Muwaqqi’in 2/47-48), penerbit: Darul Hadits, Kairo, th: 1422 H / 2002 H]
Oleh karena itu, seorang Mukmin harus menerima dengan sepenuh hati, jika datang kepadanya dalil dari al-Qur’ân, atau hadits shahih dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan pemahaman yang benar, pemahaman para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

Kesimpulannya, orang-orang yang berselisih wajib mengembalikan semua permasalahan kepada al-Qur’an dan as-Sunnah. Jika ia tidak mampu mengembalikan kepada keduanya, karena tidak memiliki ilmu tentang nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah, maka kewajibannya adalah bertanya kepada para ahli ilmu. Oleh karena itu, menghormati para ulama itu wajib, sesuai dengan kedudukan mereka sebagai pewaris Nabi, tidak bersikap ghuluw (melewati batas).

Inilah sedikit tulisan berkaitan dengan masalah ini, semoga Allâh selalu memberikan bimbingan kepada kita di atas jalan yang Dia cintai dan ridhai, menganugerahkan keikhlasan niat dan kebenaran amalan, sesungguhnya Dia Maha Mendengar doa dan Maha Kuasa mengabulkannya.

Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada Nabi Muhamad, keluarganya, dan para sahabatnya, al-hamdulillahi rabbil ‘alamin.

Catatan :
Makalah ini banyak mengambil manfaat dari muhadharah (ceramah) syaikh Abdurrahman bin Nashir Al-Barraak dengan judul Mauqiful Muslim minal Khilaf (Sikap Seorang Muslim Terhadap Perselisihan)

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04-05/Tahun XV/1432/2011M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Hal-Hal Yang Menakutkan Di Alam Kubur

Rabu, 28 Nopember 2012 06:03:06 WIB

Oleh
Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, M.A


Apabila kita mengamati nash-nash yang shahîh dari al-Qur`ân dan Sunnah serta di topang oleh pemahaman dan pandangan para Ulama dalam memahami nash-nash tersebut, maka diketahui bahwa manusia akan melewati empat alam kehidupan, yaitu: alam rahim, alam dunia, alam barzakh (kubur), alam akhirat. Semua proses kehidupan setiap alam tersebut memiliki kekhususan masing-masing, tidak bisa disamakan antara satu dengan lainnya. Misalnya alam rahim, mungkin saja bisa diketahui sebagian proses kehidupan di sana melalui peralatan kedokteran yang canggih, tapi di balik itu semua, masih banyak keajaiban yang tidak terungkap dengan jalan bagaimana pun. Semua itu merupakan rahasia yang sengaja Allah Azza wa Jalla tutup dari ilmu dan pandangan umat manusia. Allah Azza wa Jalla telah menerangkan dalam firman-Nya yang berbunyi:

وَمَا أُوتِيتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلَّا قَلِيلًا

Tidaklah kalian diberi ilmu kecuali sedikit saja [al-Isrâ`/17:85]

Apalagi bila kita hendak berbicara tentang kehidupan alam kubur dan alam akhirat, tiada pintu yang bisa kita buka kecuali pintu keimanan terhadap yang ghaib, melalui teropong nash-nash al-Qur`ân dan Sunnah. Beriman dengan hal yang ghaib adalah barometer pembeda antara seorang Mukmin dengan seorang kafir, sebagaimana termaktub dalam firman Allah Azza wa Jalla :

ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ

Kitab (al-Qur`ân) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib". [al-Baqarah/2:2-3]

Banyak nash dari al-Qur`ân dan Sunnah yang mengukuhkan persoalan ini, yang tidak mungkin diuraikan dalam tulisan yang singkat ini.

KEADAAN MANUSIA DI ALAM KUBUR
Setiap manusia yang hidup di dunia ini pasti akan melewati alam kubur. Alam ini disebut pula alam barzakh yang artinya perantara antara alam dunia dengan alam akhirat, sebagaimana firman Allah Azza wa Jalla.

حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا ۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا ۖ وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ

“Apabila kematian datang kepada seseorang dari mereka, ia berkata, "Ya Rabbku kembalikanlah aku (ke dunia) agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada Barzakh (pembatas) hingga hari mereka dibangkitkan. [al-Mukminûn/23:99-100]

Para ahli tafsir dari Ulama Salaf sepakat mengatakan, "Barzakh adalah perantara antara dunia dan akhirat, atau perantara antara masa setelah mati dan hari kebangkitan [1]. "

Alam Barzakh dinamakan dengan alam kubur adalah karena keadaan yang umum terjadi. Karena pada umumnya jika manusia meninggal dunia, dia dikubur dalam tanah. Namun, bukan berarti orang yang tidak dikubur terlepas dari peristiwa-peristiwa alam barzakh. Seperti orang yang dimakan binatang buas, tenggelam di lautan, dibakar ataupun terbakar. Sebab Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Seperti yang diceritakan Rasulullâh n dalam sabdanya:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللَّهِ nقَالَ قَالَ رَجُلٌ لَمْ يَعْمَلْ خَيْرًا قَطُّ فَإِذَا مَاتَ فَحَرِّقُوْهُ وَاذْرُوْا نِصْفَهُ فِي الْبَرِّ وَنِصْفَهُ فِي الْبَحْرِ فَوَاللَّهِ لَئِنْ قَدَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ لَيُعَذِّبَنَّهُ عَذَابًا لاَ يُعَذِّبُهُ أَحَدًا مِنْ الْعَالَمِيْنَ فَأَمَرَ اللَّهُ الْبَحْرَ فَجَمَعَ مَا فِيهِ وَأَمَرَ الْبَرَّ فَجَمَعَ مَا فِيهِ ثُمَّ قَالَ لِمَ فَعَلْتَ قَالَ مِنْ خَشْيَتِكَ وَأَنْتَ أَعْلَمُ فَغَفَرَ لَهُ

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Seorang yang tidak pernah beramal baik sedikit pun berkata kepada keluarganya: apabila ia meninggal maka bakarlah dia, lalu tumbuk tulangnya sehalus-halusnya. Kemudian sebarkan saat angin kencang bertiup, sebagian di daratan dan sebagian lagi di lautan. Lalu ia berkata, ‘Demi Allah, jika Allah mampu untuk menghidupkannya, tentu Allah akan mengazabnya dengan azab yang tidak diazab dengannya seorang pun dari penduduk alam. Maka Allah memerintahkan lautan dan daratan untuk mengumpulkan debunya yang terdapat dalamnya. Maka tiba-tiba ia berdiri tegak. Lalu Allah bertanya kepadanya, “Apa yang mendorongnya untuk melakukan hal tersebut? [2]

Dari kisah di atas dapat kita lihat bagaimana seseorang tersebut berusaha untuk lari dari azab Allah Azza wa Jalla dengan cara yang menurut akal pikirannya dapat membuatnya lolos dan lepas dari azab Allah Azza wa Jalla. Tetapi hal tersebut tidak dapat melemahkan kekuasaan Allah Azza wa Jalla . Bila seandainya ada seseorang mau melakukan tipuan terhadap Allah Azza wa Jalla agar ia terlepas dari azab kubur, sesungguhnya kekuasan Allah Azza wa Jalla jauh lebih kuat daripada tipuannya. Pada hakikatnya yang ditipu adalah dirinya sendiri.

Di alam kubur manusia akan mengalami kehidupan sampai terompet sangkakala ditiup oleh malaikat Israfil. Di sana ada yang bersukacita dan ada pula yang berdukacita, ada yang bahagia dan ada pula yang menderita. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Barâ' bin 'Azib Radhiyallahu anhu. Ia berkata, "Ketika kami menghadiri penguburan jenazah di perkuburan Baqi' Gharqad, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi kami lalu beliau duduk dan kami pun duduk di sekeliling beliau, seolah-olah ada burung yang hinggap di atas kepala kami (gambaran akan ketenangan Sahabat). Orang jenazah tersebut sedang digalikan lahatnya. Lalu Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan, "Aku berlindung kepada Allah dari azab kubur" sebanyak tiga kali. Selanjutnya beliau berkata, “Sesungguhnya seorang hamba apabila akan menjumpai kehidupan akhirat dan berpisah dengan kehidupan dunia, para malaikat turun mendatanginya, wajah mereka bagaikan matahari. Mereka membawa kain kafan dan minyak harum dari surga. Para malaikat tersebut duduk dengan jarak sejauh mata memandang. Kemudian malaikat maut mendatanginya dan duduk dekat kepalanya seraya berkata, “Wahai jiwa yang baik keluarlah menuju ampunan dan keridhaan Allah. Maka keluarlah ruh itu bagaikan air yang mengalir dari mulut cerek. Maka malaikat maut mengambil ruhnya. Bila ruh itu telah diambil, ia tidak membiarkan berada di tangannya walaupun sekejab mata hingga para malaikat (yang membawa kafan dan minyak harum) mengambilnya. Lalu mereka bungkus ruh itu dengan kafan dan minyak harum tersebut. Maka keluarlah darinya aroma, bagaikan aroma minyak kasturi yang paling harum di muka bumi. Mereka membawa ruh itu naik menuju (ke langit). Mereka melewati para malaikat yang bertanya, ‘Siapa bau harum yang wangi ini? Maka mereka menyebutnya dengan panggilan yang paling baik di dunia. Sampai naik ke langit, lalu mereka meminta dibukakan pintu langit, maka lalu dibukalah untuknya. Malaikat penghuni setiap langit mengiringinya sampai pada langit berikutnya. Dan mereka berakhir pada langit tempat Allah berada. Allah berkata, ‘Tulislah kitab hamba-Ku pada 'Illiyyin (tempat yang tinggi) dan kembalikan ia ke bumi, sesungguhnya Aku menciptakan mereka dari bumi, kemudian di sanalah mereka dikembalikan dan akan dibangkitkan kelak. Selanjutnya, ruhnya dikembalikan ke jasadnya. Lalu datanglah kepadanya dua malaikat, keduanya menyuruhnya untuk duduk. Kedua malaikat itu bertanya kepadanya, ‘Siapa Rabbmu?’ ia menjawab, ‘Rabbku adalah Allah’. ‘Apa agamamu?’ Ia menjawab agamaku Islam’. ‘Siapa orang yang diutus kepadamu ini?’ Ia menjawab, ‘Ia adalah Rasulullâh. ‘Apa ilmumu?’ Ia menjawab, ‘Aku membaca kitab Allah dan beriman dengannya’. Lalu diserukan dari langit, ‘Sungguh benar hambaku’. Maka bentangkanlah untuknya tikar dari surga. Dan bukakan baginya pintu surga. Maka datanglah kepadanya keharuman surga dan dilapangkan kuburnya sejauh mata memandang. Selanjutnya, datang kepadanya orang yang berwajah tampan, berpakaian bagus dan harum mewangi. Ia (orang berwajah tampan) berkata, ‘Bergembiralah dengan semua yang menyenangkanmu. Inilah hari yang dijanjikan untukmu. Maka ia (mayat) pun bertanya, ‘Siapa anda, wajahmu yang membawa kebaikan?’ Maka ia menjawab, ‘Aku adalah amalmu yang shaleh’. Ia bertanya lagi, ‘Ya Allah, segerakanlah kiamat agar aku bisa kembali kepada keluarga dan hartaku.

Dan bila seorang kafir, ia berpindah dari dunia dan menuju ke alam akhirat. Dan para malaikat turun dari langit menuju kepadanya dengan wajah yang hitam. Mereka membawa kain ketan yang kasar, mereka duduk dengan jarak dari mayat sejauh mata memandang. Kemudian datanglah malaikat Maut duduk di dekat kepalanya. Ia berkata, ‘Wahai jiwa yang kotor, keluarlah menuju kemurkaan Allah. Selanjutnya, ruhnya pun menyebar ke seluruh tubuhnya dan malaikat Maut mencabut ruhnya dengan kuat seperti mencaput sisir besi dari ijuk yang basah. Bila ruh itu telah diambil, malaikat itu tidak membiarkannya sekejab mata di tangannya, sampai para malikat (ruh) meletakkannya pada kain ketan yang kasar tersebut. Kemudian ia mengeluarkan bau yang paling busuk di muka bumi. Selanjutnya para malaikat membawa naik ruh tersebut. Tiada malaikat yang mereka lewati kecuali mereka mengatakan, ‘Bau apa yang sangat keji ini?’ ia dipanggil dengan namanya yang paling jelek waktu di dunia. Sehingga arwahnya sampai pada langit dunia dan malaikat meminta pintunya dibuka, akan tetapi tidak diizinkan. Kemudian Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca firman Allah

لَا تُفَتَّحُ لَهُمْ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَلَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ حَتَّىٰ يَلِجَ الْجَمَلُ فِي سَمِّ الْخِيَاطِ :

Tidak dibukakan untuk mereka pintu langit, dan mereka tidak akan masuk surga sampai onta masuk ke dalam lubang penjahit". [al-A`râf/7:40]

Setelah itu Allah Azza wa Jalla berkata, "Tulislah catatan amalnya di Sijjîn pada lapisan bumi yang paling bawah". Dan ruhnya dilemparkan jauh-jauh. Kemudian Rasulullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat:

وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَكَأَنَّمَا خَرَّ مِنَ السَّمَاءِ فَتَخْطَفُهُ الطَّيْرُ أَوْ تَهْوِي بِهِ الرِّيحُ فِي مَكَانٍ سَحِيقٍ

Barangsiapa yang berbuat syirik kepada Allah, maka seolah-olah ia telah terjatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan oleh angin ke tempat yang jauh [al-Hajj/22:31]

Setelah itu ruhnya dikembalikan ke jasadnya, dan datang kepadanya dua orang malaikat yang menyuruhnya duduk. Kedua malaikat itu bertanya, ‘Siapa Rabbmu? ia menjawab, ‘Ha ha, aku tidak tahu’. Mereka bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang diutus kepadamu ini?’ Ia menjawab, ‘Ha ha, aku tidak tahu’. Maka seseorang menyeru dari langit, ‘Sungguh ia telah berdusta’. Bentangkan tikar untuknya dari api neraka dan bukakan salah satu pinti neraka untuknya. Maka datanglah kepadanya angin panas neraka. Lalu kuburnya disempitkan sehingga tulang-tulang rusuknya saling berdempet. Kemudian datang kepadanya seorang yang bewajah jelek, berpakaian jelek dan berbau busuk. Orang itu berkata, ‘Berbahagialah dengan apa yang menyakitimu, inilah hari yang dijanjikan padamu. Lalu ia (mayat) bertanya, ‘Siapa engkau yang berwajah jelek?’ Ia menjawab, Aku adalah amalanmu yang keji’. Lalu mayat itu mengatakan, ,Rabb ku janganlah engkau datangkan Kiamat"[3] .

Jika seorang Muslim mau merenung sejenak bagaimana keadaan dan kondisi kehidupannya nanti di alam kubur. Niscaya ia akan menjauhi perbuatan maksiat dan dosa. Bayangkan, bagaimana keadaan kita ketika berada dalam sebuah lubang yang sempit lagi gelap, serta tidak ada cahaya sedikit pun. Betapa mencekam suasana gelap itu dan menimbulkan rasa takut yang dalam, napas terasa sesak, semakin lama semakin sulit untuk bernapas, rasa haus, lapar, panas, mau berteriak tidak seorang pun yang mendengar.

Akan tetapi alam kubur jauh berbeda dari semua itu. Tidak hanya sebatas apa yang tergambar ketika kita berada dalam sebuah lubang sempit dan gelap. Suasana di sana akan ditentukan oleh amalan kita sewaktu di dunia. Orang yang beramal shaleh waktu di dunia, ia akan lulus dalam menjawab pertanyaan malaikat. Tidur di atas hamparan tikar dari surga, ditemani oleh orang berbau wangi dan berwajah tampan. Kemudian senantiasa mencium bau harum hembusan angin surga.

Adapun orang yang ketika hidup di dunia bergelimang dosa dan maksiat, apalagi melakukan perbuatan syirik. Ia tidak akan bisa menjawab pertanyaan malaikat. Tidur di atas hamparan tikar dari api neraka, di temani oleh orang berbau busuk dan berwajah buruk. Kemudian ia senantiasa mencium bau busuk hembusan panas api neraka. Bahkan setiap manusia akan diperlihatkan tempat tinggalnya saat di alam kubur pada waktu pagi dan sore. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

«إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا مَاتَ عُرِضَ عَلَيْهِ مَقْعَدُهُ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِىِّ إِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ فَمِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَإِنْ كَانَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ فَمِنْ أَهْلِ النَّارِ يُقَالُ هَذَا مَقْعَدُكَ حَتَّى يَبْعَثَكَ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »

Apabila seseorang telah mati, akan diperlihatkan kepadanya tempat tinggalnya pada waktu pagi dan sore. Jika ia termasuk penghuni surga, maka diperlihatkan tempatnya di surga. Dan jika ia dari penghuni neraka maka diperlihatkan tempatnya di neraka. Kemudian dikatakan kepadanya, “Inilah tempatmu yang akan engkau tempati pada hari kiamat”. [HR Muslim no. 5110, Ahmad no. 5656, Mâlik no. 502]

Di antara hikmah diperlihatkannya tempat seseorang di akhirat kelak ketika berada di alam kubur adalah agar semakin menimbulkan rasa syukur dalam diri orang yang beramal shaleh. Ini adalah salah satu bentuk nikmat yang dirasakannya dalam alam kubur. Adapun bagi orang berbuat dosa, maka itu akan semakin menambah rasa kekecewaan dan penyesalan dalam dirinya. Ini adalah salah satu bentuk azab yang dialaminya dalam alam kubur. Hal ini sebagaimana disebutkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:

لاَ يَدْخُلُ أَحَدٌ الْجَنَّةَ إِلاَّ أُرِيَ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ لَوْ أَسَاءَ لِيَزْدَادَ شُكْرًا وَلاَ يَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ إِلاَّ أُرِيَ مَقْعَدَهُ مِنْ الْجَنَّةِ لَوْ أَحْسَنَ لِيَكُوْنَ عَلَيْهِ حَسْرَةً

Tidak seorang pun masuk ke dalam surga kecuali diperlihatkan kepadanya tempatnya di neraka. Seandainya ia berbuat jelek. Agar bertambah rasa syukurnya. Dan tidaklah seorang pun masuk ke dalam neraka kecuali diperlihatkan kepadanya tempatnya di surga, seandainya ia berbuat baik. Agar semakin bertambah atasnya rasa penyesalannya". [HR al-Bukhâri no. 10557]

Dalam riwayat lain disebutkan:

« إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا وُضِعَ في قَبْرِهِ وَتَوَلَّى عَنْهُ أَصْحَابُهُ إِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ ». قَالَ « يَأْتِيْهِ مَلَكَانِ فَيُقْعِدَانِهِ فَيَقُوْلاَنِ لَهُ مَا كُنْتَ تَقُوْلُ في هَذَا الرَّجُلِ ». قَالَ « فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ فَيَقُولُ أَشْهَدُ أَنَّهُ عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ ». قَالَ « فَيُقَالُ لَهُ انْظُرْ إِلَى مَقْعَدِكَ مِنَ النَّارِ قَدْ أَبْدَلَكَ اللَّهُ بِهِ مَقْعَدًا مِنَ الْجَنَّةِ ». قَالَ نَبِيُّ اللَّهِ n « فَيَرَاهُمَا جَمِيعًا ». قَالَ قَتَادَةُ وَذُكِرَ لَنَا أَنَّهُ يُفْسَحُ لَهُ في قَبْرِهِ سَبْعُوْنَ ذِرَاعًا وَيُمْلأُ عَلَيْهِ خَضِرًا إِلَى يَوْمِ يُبْعَثُونَ

Apabila seorang hamba diletakkan di kuburnya, dan kerabatnya pergi meninggalkannya. Sesungguhnya ia mendengar derap terompah mereka. Kemudian datanglah kepadanya dua orang malaikat dan menyuruhnya duduk. Mereka bertanya kepadanya, ‘Apa perkataanmu tentang orang ini?’ Adapun orang Mukmin, maka ia akan menjawab, Aku bersaksi bahwa ia adalah hamba Allah dan utusan-Nya. Lalu dikatakan kepadanya, ‘Lihatlah tempatmu di neraka. Sungguh, Allah telah menukarnya dengan surga, maka ia melihat keduanya. berkata Qatâdah, ‘Disebutkan kepada kami bahwa kuburnya di luaskan tujuh puluh hasta, yang dipenuhi oleh tubuhan hijau sampai hari mereka dibangkit". [HR al-Bukhâri no. 1285, Muslim no. 5115, Ahmad no. 11823]

KESIMPULAN:
1. Azab kubur benar-benar ada, dan kita wajib beriman kepadanya karena ia adalah bagian dari beriman kepada yang ghaib.

2. Azab kubur bersifat umum bagi seluruh manusia, tidak khusus bagi umat nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

3. Di antara azab atau nikmat kubur ada yang berhubungan dengan ruh dan jasad secara bersamaan dan ada pula yang khusus berhubungan dengan ruh saja.

4. Semua ruh orang yang telah meninggal dunia berada di alam Barzakh, sekalipun ia pelaku maksiat atau orang kafir.

5. Seseorang tidak akan masuk surga atau neraka kecuali setelah terjadinya hari kiamat dan dibangkitnya seluruh manusia dari kuburnya.

PELAJARAN DI BALIK KEIMANAN KEPADA AZAB KUBUR.
1. Menanamkan dalam diri seseorang sikap mawas diri dalam meninggalkan perintah-perintah agama.

2. Memiliki kemauan yang tinggi dalam melakukan amal shaleh, agar mendapat keberuntungan di alam kubur.

3. Menimbulkan rasa takut dalam diri seseorang untuk melakukan maksiat, agar terhindar dari azab kubur. Wallâhu a`lam

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XIII/1431H/2010M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]

Pemimpin Ideal

Kamis, 17 Juni 2010 16:24:32 WIB

Oleh
Ustadz Abu Ihsan al-Atsari


Al-Mawardi rahimahullah dalam kitab al-Ahkâm ash-Shulthaniyah menyebutkan syarat-syarat seorang pemimpin, di antaranya: Pertama, adil dengan ketentuan-ketentuannya. Kedua, ilmu yang bisa mengantar kepada ijtihad dalam menetapkan permasalahan kontemporer dan hukum-hukum. Ketiga, sehat jasmani, berupa pendengaran, penglihatan dan lisan, agar ia dapat langsung menangani tugas kepemimpinan. Keempat, normal (tidak cacat), yang tidak menghalanginya untuk bergerak dan bereaksi. Kelima, bijak, yang bisa digunakan untuk mengurus rakyat dan mengatur kepentingan negara. Keenam, keberanian, yang bisa digunakan untuk melindungi wilayah dan memerangi musuh.

Nilai lebih dalam hal kebijakan, kesabaran, keberanian, sehat jasmani dan rohani serta kecerdikan merupakan kriteria yang mutlak harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Tanpa memiliki kriteria itu, seorang pemimpin akan kesulitan dalam mengatur dan mengurus negara dan rakyatnya.

Muhammad al-Amin asy-Syinqithi menjelaskan, "Pemimpin haruslah seseorang yang mampu menjadi Qadhi (hakim) bagi rakyatnya (kaum muslimin). Haruslah seorang alim mujtahid yang tidak perlu lagi meminta fatwa kepada orang lain dalam memecahkan kasus-kasus yang berkembang di tengah masyarakatnya!"[1]

Ibnul-Muqaffa' dalam kitab al-Adabul-Kabir wa Adabush-Shaghir menyebutkan pilar-pilar penting yang harus diketahui seorang pemimpin: "Tanggung jawab kepemimpinan merupakan sebuah bala` yang besar. Seorang pemimpin harus memiliki empat kriteria yang merupakan pilar dan rukun kepemimpinan. Di atas keempat kriteria inilah sebuah kepemimpinan akan tegak, (yaitu): tepat dalam memilih, keberanian dalam bertindak, pengawasan yang ketat, dan keberanian dalam menjalankan hukum".

Lebih lanjut ia mengatakan: "Pemimpin tidak akan bisa berjalan tanpa menteri dan para pembantu. Dan para menteri tidak akan bermanfaat tanpa kasih sayang dan nasihat. Dan tidak ada kasih sayang tanpa akal yang bijaksana dan kehormatan diri".

Dia menambahkan: "Para pemimipin hendaklah selalu mengawasi para bawahannya dan menanyakan keadaan mereka. Sehingga keadaan bawahan tidak ada yang tersamar baginya, yang baik maupun yang buruk. Setelah itu, janganlah ia membiarkan pegawai yang baik tanpa memberikan balasan, dan janganlah membiarkan pegawai yang nakal dan yang lemah tanpa memberikan hukuman ataupun tindakan atas kenakalan dan kelemahannya itu. Jika dibiarkan, maka pegawai yang baik akan bermalas-malasan dan pegawai yang nakal akan semakin berani. Jika demikian, kacaulah urusan dan rusaklah pekerjaan".

Ath-Thurthusyi dalam Sirâjul-Mulûk mengatakan: "Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:

"Seandainya Allah tidak menolak (keganasan) sebahagian manusia dengan sebagaian yang lain, pasti rusaklah bumi ini" [al-Baqarah/2:251].

Yakni, seandainya Allah tidak menegakkan pemimpin di muka bumi untuk menolak kesemena-menaan yang kuat terhadap yang lemah dan membela orang yang dizhalimi atas yang menzhalimi, niscaya hancurlah orang-orang yang lemah. Manusia akan saling memangsa. Segala urusan menjadi tidak akan teratur, dan hiduppun tidak akan tenang. Rusaklah kehidupan di atas muka bumi. Kemudian Allah menurunkan karunia kepada umat manusia dengan menegakkan kepemimpinan. Allah l mengatakan, tetapi Allah mempunyai karunia (yang dicurahkan) atas semesta alam. -Qs. al-Baqarah/2 ayat 251- yaitu dengan mengadakan pemerintahan di muka bumi, sehingga kehidupan manusia menjadi aman.

Karunia Allah Azza wa Jalla atas orang yang zhalim, ialah dengan menahan tangannya dari perbuatan zhaliman. Sedangkan karunia-Nya atas orang yang dizhalimi, ialah dengan memberikan keamanan dan tertahannya tangan orang yang zhalim terhadapnya.

Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu telah meriwayatkan, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ثَلاَثَةٌ لاَ تُرَدُّ دَعْوَتُهُمْ: الإِمَامُ العَادِلُ وَالصَّائِمُ حَتَّى يَفْطُرَ وَدَعْوَةُ المَظْلُوْمِ.

"Tiga doa yang tidak tertolak: Doa pemimpin yang adil, orang yang puasa hingga berbuka, dan doa orang yang dizhalimi" [2].

Diriwayatkan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمُ اللَّهُ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ الْإِمَامُ الْعَادِلُ وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِِ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ بِالْمَسَاجِدِ وَرَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ حُسْنٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ: إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ يَمِينُهُ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ

"Tujuh orang yang akan dinaungi Allah pada hari yang tiada naungan selain naungan-Nya: (1) Seorang imam yang adil (2) Seorang pemuda yang menghabiskan masa mudanya dengan beribadah kepada Allah. (3) Seorang yang hatinya selalu terkait dengan masjid. (4) Dua orang yang saling mencintai karena Allah, berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah. (6) Lelaki yang diajak seorang wanita yang cantik dan terpandang untuk berzina lantas ia berkata: "Sesungguhnya aku takut kepada Allah". (5) Seorang yang menyembunyikan sedekahnya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang disedekahkan oleh tangan kanannya. (6) Seorang yang berdzikir kepada Allah seorang diri hingga menetes air matanya." [3]

Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata,"Amal seorang imam yang adil terhadap rakyatnya sehari, lebih utama daripada ibadah seorang ahli ibadah di tengah keluarganya selama seratus atau lima puluh tahun."

Qeis bin Sa'ad berkata,"Sehari bagi imam yang adil, lebih baik daripada ibadah seseorang di rumahnya selama enam puluh tahun."

Masruq berkata,"Andaikata aku memutuskan hukum dengan hak sehari. maka itu lebih aku sukai daripada aku berperang setahun fi sabilillah."

Diriwayatkan bahwa Sa'ad bin Ibrâhîm, Abu Salamah bin Abdurrahmân, Muhammad bin Mush'ab bin Syurahabil dan Muhammad bin Shafwan berkata kepada Sa'id bin Sulaiman bin Zaid bin Tsabit: "Menetapkan hukum secara hak satu hari, lebih utama di sisi Allah, daripada shalatmu sepanjang umur".
Kebenaran perkataan ini akan nampak jelas, jika melihat kebaikan yang didapatkan rakyat karena kebaikan pemimpinnya.

Wahab bin Munabbih rahimahullah berkata,"Apabila seorang pemimpin berkeinginan melakukan kecurangan atau telah melakukannya, maka Allah akan menimpakan kekurangan pada rakyatnya di pasar, di sawah, pada hewan ternak dan pada segala sesuatu. Dan apabila seorang pemimpin berkeinginan melakukan kebaikan dan keadilan atau telah melakukannya niscaya Allah akan menurunkan berkah pada penduduknya."

Umar bin 'Abdul-Aziz rahimahullah berkata,"Masyarakat umum bisa binasa karena ulah orang-orang (kalangan) khusus (para pemimpin). Sementara kalangan khusus tidaklah binasa karena ulah masyarakat. Kalangan khusus itu adalah para pemimpin. Berkaitan dengan makna inilah Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zhalim saja di antara kamu" [al-Anfâl/8:25].

Al-Walid bin Hisyam berkata,"Sesungguhnya rakyat akan rusak karena rusaknya pemimpin, dan akan menjadi baik karena baiknya pemimpin."

Sufyan ats-Tsauri berkata kepada Abu Ja'far al-Manshur: "Aku tahu, ada seorang lelaki yang bila ia baik, maka umat akan baik; dan jika ia rusak, maka rusaklah umat." Abu Ja'far al-Manshur (ia adalah pemimpin) bertanya: "Siapa dia?" Sufyan menjawab: "Engkau!"

Pemimpin yang paling baik ialah pemimpin yang ikut berbagi bersama rakyatnya. Rakyat mendapat bagian keadilan yang sama, tidak ada yang diistimewakan. Sehingga pihak yang merasa kuat tidak memiliki keinginan melakukan kezhalimannya. Adapun pihak yang lemah tidak merasa putus asa mendapatkan keadilan. Dalam sebuah kata-kata hikmah disebutkan: Pemimpin yang baik, ialah pemimpin yang orang-orang tak bersalah merasa aman dan orang-orang yang bersalah merasa takut. Pemimpin yang buruk, ialah pemimpin yang orang-orang tak bersalah merasa takut dan orang-orang yang bersalah merasa aman."

Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu berkata kepada al-Mughirah ketika mengangkatnya menjadi gubernur Kufah: "Hai Mughirah, hendaklah orang-orang baik merasa aman denganmu dan orang-orang jahat merasa takut terhadapmu".

Dalam sebuah kata-kata hikmah disebutkan: Seburuk-buruk harta, ialah yang tidak diinfakkan. Seburuk-buruk teman, ialah yang lari ketika dibutuhkan. Seburuk-buruk pemimpin, ialah pemimpin yang membuat orang-orang baik takut. Seburuk-buruk negeri, ialah negeri yang tidak ada kemakmuran dan keamanan. Sebaik-baik pemimpin, ialah pemimpin yang seperti burung elang yang dikelilingi bangkai, bukan pemimpin yang seperti bangkai yang dikelilingi oleh burung elang.

Oleh karena itu dikatakan, pemimpin yang ditakuti oleh rakyat lebih baik daripada pemimpin yang takut kepada rakyat.

Seorang pemimpin, hendaklah juga memiliki sifat pemaaf. Maaf dari orang yang kuat adalah fadhilah. Sifat pemaaf yang dimiliki pemimpin, ibarat mahkota bagi seorang raja. Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengatakan:

"Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh". [al-A'râf/7:199].

Demikian pula firman Allah Subhanahu wa Ta'ala yang menganjurkan memberi maaf:

"(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan". [Ali 'Imrân/3:134].

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan-perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. -asy-Syûra/42 ayat 37- kecuali bila yang dilanggar itu adalah hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala.

'Aisyah Radhiyallahu 'anha berkata,"Aku tidak pernah melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam membalas dendam terhadap kezhaliman yang dilakukan terhadap beliau. Hanya saja, bila sesuatu dari hukum Allah dilanggar, maka tidak ada satupun yang dapat menghadang kemarahan beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam."

Ketika Uyainah bin Hishn masuk menemui Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: "Hai Ibnul-Khaththab, demi Allah, engkau tidak memberi kami secara cukup dan engkau tidak menghukum di antara kami secara adil!" Marahlah Umar dan beliau ingin memukulnya. Salah seorang saudaranya berkata: "Hai Amirul- Mukminin, sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman, (yang artinya): Jadilah engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. -al-A'râf/7 ayat 199 dan sesungguhnya dia ini termasuk orang bodoh".

Demi Allah, ketika ia mendengar ayat itu dibacakan, Umar tidak jadi memukulnya. Karena Umar seorang yang sangat komitmen mengikuti Kitabullah.

Seorang pemimpin hendaklah memiliki sifat kasih sayang. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

اِرْحَمُوْا مَنْ فِي الأَرْضِ يَرْحَمُكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ

"Sayangilah orang-orang di bumi, niscaya Allah yang ada di langit akan menyayangimu". [HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Syaikh al Albani t dalam Shahih Sunan at Tirmidzi, no. 1924]

Orang yang paling berhak menjadi pemimpin ialah yang paling kasih lagi paling penyayang. Sebaik-baik pemimpin ialah yang bisa menjadi teladan dan pemberi hidayah bagi rakyatnya, dan seburuk-buruk pemimpin ialah pemimpin yang menyesatkan. Dahulu dikatakan, bahwa rakyat berada di bawah agama pemimpinnya. Jika bagus agama pemimpinnya, maka bagus pulalah agama rakyatnya. Jika kacau agama pemimpinnya, maka kacau pulalah agama rakyatnya.

Dalam hadits Tsauban Radhiyallahu 'anhu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, ia bersabda:

إِنَّ مِمَّا أَتَخَوَّفُ عَلَى أُمَّتِي أَئِمَّةً مُضِلِّينَ

"Sesungguhnya, yang paling aku khawatirkan atas dirimu ialah imam-imam yang menyesatkan". [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan At-Tirmidzi, ia berkata: Hadits ini hasan shahîh]

Di dalam kitab ash-Shahîh disebutkan, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

"Sesungguhnya, Allah tidak mengangkat ilmu sekaligus dari umat manusia, namun Allah mengangkatnya dengan mewafatkan para ulama. Sehingga apabila tidak lagi tersisa seorang pun ulama, manusia mengangkat orang-orang jahil sebagai pemimpin. Ketika ditanya, mereka mengeluarkan fatwa tanpa dasar ilmu. Akhirnya mereka sesat lagi menyesatkan" [4].

Imam ath-Thurthûsyi rahimahullah berkata,"Resapilah hadits ini baik-baik. Sesungguhnya, musibah menimpa manusia bukan karena ulama, bila para ulama telah wafat lalu orang-orang jahil mengeluarkan fatwa atas dasar kejahilannya, saat itulah musibah menimpa manusia."

Ia melanjutkan perkataannya: "Umar Ibnul-Khaththab Radhiyallahu 'anhu telah menerangkan maksud tersebut. Dia berkata,'Seorang yang amanat tidak akan berkhianat. Hanya saja pengkhianat diberi amanat, lantas wajar saja kalau ia berkhianat'."

Wallahu a'lam bish-Shawab.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun XII/1429H/2008M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]