Minggu, 16 Desember 2012

SUSUNAN PANITIA MAULID NABI MUHAMMAD SAW 1434 H

PENANGGUNGJAWAB :
Drs. Luqman Efendi

KETUA PANITIA :
Ustd. Amir Syam

SEKRETARIS :
Kusnadi

BENDAHARA :
Agung Prasetyono

SEKSI PENCARI DANA :

1. Sumardiyana

2. Sadiman

3. Syukron

4. Agus Somad

Selasa, 04 Desember 2012

Kategori Fiqih : Bisnis & Riba

Adab Berhutang

Jumat, 30 April 2010 01:33:03 WIB
Oleh
Ustadz Armen Halim Naro Lc



“Wahai guru, bagaimana kalau mengarang kitab tentang zuhud ?” ucap salah seorang murid kepada Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Maka beliau menjawab : “Bukankah aku telah menulis kitab tentang jual-beli?”

Fenomena yang sering terjadi dewasa ini yaitu banyaknya orang salah persepsi dalam memandang hakikat ke-islaman seseorang. Seringkali seorang muslim memfokuskan keshalihan dan ketakwaannya pada masalah ibadah ritualnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga diapun terlihat taat ke masjid, melakukan hal-hal yang sunat, seperti ; shalat, puasa sunat dan lain sebagainya. Di sisi lain, ia terkadang mengabaikan masalah-masalah yang bekaitan dengan muamalah, akhlak dan jual-beli. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan, agar sebagai muslim, kita harus kaffah. Sebagaimana kita muslim dalam mu’amalahnya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka seyogyanya juga harus muslim juga dalam mu’amalahnya dengan manusia. Allah berfirman.
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh)” [Al-Baqarah : 208]

Oleh karenanya, dialog murid terkenal Imam Abu Hanifah tadi layak dicerna dan dipahami. Seringkali zuhud diterjemahkan dengan pakaian lusuh, makanan sederhana, atau dalam arti kening selalu mengkerut dam mata tertunduk, supaya terlihat sedang tafakkur. Akan tetapi, kalau sudah berhubungan dengan urusan manusia, maka dia tidak menghiraukan yang terlarang dan yang tercela.

Hutang-pihutang merupakan salah satu permasalahan yang layak dijadikan bahan kajian berkaitan dengan fenomena di atas. Hutang-pihutang merupakan persoalan fikih yang membahas permasalahan mu’amalat. Di dalam Al-Qur’an, ayat yang menerangkan permasalahan ini menjadi ayat yang terpanjang sekaligus bagian terpenting, yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 282. Demikian pentingnya masalah hutang-pihutang ini, dapat ditunjukkan dengan salah satu hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menshalatkan seseorang yang meninggal, tetapi masih mempunyai tanggungan hutang.

HUTANG HARUS DIPERSAKSIKAN

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [Al-Baqarah : 282]

Mengenai ayat ini, Ibnul Arabi rahimahullah di dalam kitab Ahkam-nya menyatakan : “Ayat ini adalah ayat yang agung dalam mu’amalah yang menerangkan beberapa point tentang yang halal dan haram. Ayat ini menjadi dasar dari semua permasalahan jual beli dan hal yang menyangkut cabang (fikih)” [1]

Menurut Ibnu Katsir rahimahullah, ini merupakan petunjuk dariNya untuk hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan” [2]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Maka tulislah …” maksudnya adalah tanda pembayaran untuk megingat-ingat ketika telah datang waktu pembayarannya, karena adanya kemungkinan alpa dan lalai antara transaksi, tenggang waktu pembayaran, dikarenakan lupa selalu menjadi kebiasaan manusia, sedangkan setan kadang-kadang mendorongnya untuk ingkar dan beberapa penghalang lainnya, seperti kematian dan yang lainnya. Oleh karena itu, disyari’atkan untuk melakukan pembukuan hutang dan mendatangkan saksi" [3]

“Maka tulislah…”, secara zhahir menunjukkan, bahwa dia menuliskannya dengan semua sifat yang dapat menjelaskannya di hadapan hakim, apabila suatu saat perkara hutang-pihutang ini diangkat kepadanya. [4]

BOLEHKAH BERHUTANG?
Tidak ada keraguan lagi bahwa menghutangkan harta kepada orang lain merupakan perbuatan terpuji yang dianjurkan syari’at,dan merupakan salah satu bentuk realisasi dari hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Baragsiapa yang melapangkan seorang mukmin dari kedurhakaan dunia, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melapangkan untuknya kedukaan akhirat”

Para ulama mengangkat permasalahan ini, dengan memperbandingkan keutamaan antara menghutangkan dengan bersedekah. Manakah yang lebih utama?

Sekalipun kedua hal tersebut dianjurkan oleh syari’at, akan tetapi dalam sudut kebutuhan yang dharurat, sesungguhnya orang yang berhutang selalu berada pada posisi terjepit dan terdesak, sehingga dia berhutang. Sehingga menghutangkan disebutkan lebih utama dari sedekah, karena seseorang yang diberikan pinjaman hutang, orang tersebut pasti membutuhkan. Adapun bersedekah, belum tentu yang menerimanya pada saat itu membutuhkannya.

Ibnu Majah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau berkata kepada Jibril : “Kenapa hutang lebih utama dari sedekah?” Jibril menjawab, “Karena peminta, ketika dia meminta dia masih punya. Sedangkan orang yang berhutang, tidaklah mau berhutang, kecuali karena suatu kebutuhan”. Akan tetapi hadits ini dhaif, karena adanya Khalid bin Yazid Ad-Dimasyqi. [5]

Adapun hukum asal berhutang harta kepada orang lain adalah mubah, jika dilakukan sesuai tuntunan syari’at. Yang pantas disesalkan, saat sekarang ini orang-orang tidak lagi wara’ terhadap yang halal dan yang haram. Di antaranya, banyak yang mencari pinjaman bukan karena terdesak oleh kebutuhan, akan tetapi untuk memenuhi usaha dan bisnis yang menjajikan.

Hutang itu sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, hutang baik. Yaitu hutang yang mengacu kepada aturan dan adab berhutang. Hutang baik inilah yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; ketika wafat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berhutang kepada seorang Yahudi dengna agunan baju perang. Kedua, hutang buruk. Yaitu hutang yang aturan dan adabnya didasari dengan niat dan tujuan yang tidak baik.

ETIKA BERHUTANG
1. Hutang tidak boleh mendatangkan keuntungan bagi si pemberi hutang.
Kaidah fikih berbunyi : “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Sedangkan menambah setelah pembayaran merupakan tabi’at orang yang mulia, sifat asli orang dermawan dan akhlak orang yang mengerti membalas budi.

Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. [6]

2. Kebaikan (seharusnya) dibalas dengan kebaikan
Itulah makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tertera dalam surat Ar-Rahman ayat 60, semestinya harus ada di benak para penghutang, Dia telah memperoleh kebaikan dari yang memberi pinjaman, maka seharusnya dia membalasnya dengan kebaikan yang setimpal atau lebih baik. Hal seperti ini, bukan saja dapat mempererat jalinan persaudaraan antara keduanya, tetapi juga memberi kebaikan kepada yang lain, yaitu yang sama membutuhkan seperti dirinya. Artinya, dengan pembayaran tersebut, saudaranya yang lain dapat merasakan pinjaman serupa.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.

كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنٌّ مِنْ الْإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ أَعْطُوهُ فَطَلَبُوا سِنَّهُ فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلَّا سِنًّا فَوْقَهَا فَقَالَ أَعْطُوهُ فَقَالَ أَوْفَيْتَنِي أَوْفَى اللَّهُ بِكَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

“Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas dengan setimpal”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian” [7]

Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata.

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَكَانَ لِي عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِي وَزَادَنِي

“Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya” [8]


3. Berhutang dengan niat baik
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah zhalim dan melakukan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti.
a. Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b. Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c. Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

"Barangsiapa yang mengambil harta orang (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membinasakannya” [9]

Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi diatas [10] Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan azam untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang berazam pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala melelahkan badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang baqa (kekal)?

4. Hutang tidak boleh disertai dengan jual beli
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia telah melarangnya, karena ditakutkan dari transaksi ini mengandung unsur riba. Seperti, seseorang meminjam pinjaman karena takut riba, maka kiranya dia jatuh pula ke dalam riba dengan melakuan transaksi jual beli kepada yang meminjamkan dengan harga lebih mahal dari biasanya.

5. Wajib memabayar hutang
Ini merupakan peringatan bagi orang yang berhutang. Semestinya memperhatikan kewajiban untuk melunasinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar kita menunaikan amanah. Hutang merupakan amanah di pundak penghutang yang baru tertunaikan (terlunaskan) dengan membayarnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوْا اْلأَمَاناَتِ إِلىَ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيْراً

" Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimnya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat". [An-Nisa : 58]


Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah : “Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang” [HR Bukhari no. 2390]

Orang yang menahan hutangnya padahal ia mampu membayarnya, maka orang tersebut berhak mendapat hukuman dan ancaman, diantaranya.

a. Berhak mendapat perlakuan keras.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata. :

أَنَّ رَجُلًا تَقَاضَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَغْلَظَ لَهُ فَهَمَّ بِهِ أَصْحَابُهُ فَقَالَ دَعُوهُ فَإِنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مَقَالًا وَاشْتَرُوا لَهُ بَعِيرًا فَأَعْطُوهُ إِيَّاهُ وَقَالُوا لَا نَجِدُ إِلَّا أَفْضَلَ مِنْ سِنِّهِ قَالَ اشْتَرُوهُ فَأَعْطُوهُ إِيَّاهُ فَإِنَّ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

"Seseorang menagih hutang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai dia mengucapkan kata-kata pedas. Maka para shahabat hendak memukulnya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam berkata, “Biarkan dia. Sesungguhnya si empunya hak berhak berucap. Belikan untuknya unta, kemudian serahkan kepadanya”. Mereka (para sahabat) berkata : “Kami tidak mendapatkan, kecuali yang lebih bagus dari untanya”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Belikan untuknya, kemudian berikan kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang paling baik dalam pembayaran” [11]

Imam Dzahabi mengkatagorikan penundaan pembayaran hutang oleh orang yang mampu sebagai dosa besar dalam kitab Al-Kabair pada dosa besar no. 20

b. Berhak dighibah (digunjing) dan diberi pidana penjara.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah.:

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْم

“Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman” [12]


Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. :

لَيُّ الوَاجِدِ يَحِلُّ عُقُوْبَتَه ُوَعِرْضه

"Menunda pembayaran bagi yang mampu membayar, (ia) halal untuk dihukum dan (juga) keehormatannya”.

Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Halal kehormatannya ialah dengan mengatakan ‘engkau telah menunda pebayaran’ dan menghukum dengan memenjarakannya” [13]

c.. Hartanya berhak disita
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَنْ أَدْرَكَ مَالَهُ بِعَيْنِهِ عِنْدَ رَجُلٍ أَوْ إِنْسَانٍ قَدْ أَفْلَسَ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ مِنْ غَيْرِهِ

“Barangsiapa yang mendapatkan hartanya pada orang yang telah bangkrut, maka dia lebih berhak dengan harta tersebut dari yang lainnya” [14]

d. Berhak di-hajr (dilarang melakukan transaksi apapun).
Jika seseorang dinyatakan pailit dan hutangnya tidak bisa ditutupi oleh hartanya, maka orang tersebut tidak diperkenankan melakukan transaksi apapun, kecuali dalam hal yang ringan (sepele) saja.

Hasan berkata, “Jika nyata seseorang itu bangkrut, maka tidak boleh memerdekakan, menjual atau membeli” [15]

Bahkan Dawud berkata, “Barangsiapa yang mempunyai hutang, maka dia tidak diperkenankan memerdekakan budak dan bersedekah. Jika hal itu dilakukan, maka dikembalikan” [16]

Kemungkinan –wallahu a’lam- dalam hal ini, hutang yang dia tidak sanggup lagi melunasinya.

6. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman, karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.

Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.

7. Berusaha mencari solusi sebelum berhutang, dan usahakan hutang merupakan solusi terakhir setelah semuanya terbentur.

8. Menggunakan uang dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ

"Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya” [17]


9. Pelimpahan hutang kepada yang lain diperbolehkan dan tidak boleh ditolak
Jika seseorang tidak sanggup melunasi hutangnya, lalu dia melimpahkan kepada seseorang yang mampu melunasinya, maka yang menghutangkan harus menagihnya kepada orang yang ditunjukkan, sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah :

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَمَنْ أُتْبِعَ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتَّبِعْ

“Menunda pembayaran bagi roang yang mampu merupakan suatu kezhaliman. Barangsiapa yang (hutangnya) dilimpahkan kepada seseorang, maka hendaklah dia menurutinya. [18]

10. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.

Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku. (Maka) akupun melakukannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. [19]

BAGI YANG MENGHUTANGKAN AGAR MEMBERI KERINGANAN KEPADA YANG BERHUTANG

Pemberian pinjaman pada dasarnya dilandasi karena rasa belas kasihan dari yang menghutangkan. Oleh karena itu, hendaklah orientasi pemberian pinjamannya tersebut didasarkan hal tersebut, dari awal hingga waktu pembayaran. Oleh karenanya, Islam tidak membenarkan tujuan yang sangat baik ini dikotori dengan mengambil keuntungan dibalik kesusahan yang berhutang.

Di antara yang dapat dilakukan oleh yang menghutangkan kepada yang berhutang ialah.

1. Memberi keringanan dalam jumlah pembayaran
Misalnya, dengan uang satu juta rupiah yang dipinjamkannya tersebut, dia dapat beramal dengan kebaikan berikutnya, seperti meringankan pembayaran si penghutang, atau dengan boleh membayarnya dengan jumlah di bawah satu juta rupiah, atau bisa juga mengizinkan pembayarannya dilakukan dengan cara mengangsur, sehingga si penghutang merasa lebih ringan bebannya.

2. Memberi keringanan dalam hal jatuh tempo pembayaran
Si pemberi pinjaman dapat pula berbuat baik degan memberi kelonggaran waktu pembayaran, sampai si penghutang betul-betul sudah mampu melunasi hutangnya.

Dari Hudzaifah Radhyallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Suatu hari ada seseorang meninggal. Dikatakan kepadanya (mayit di akhirar nanti). Apa yang engkau perbuat? Dia menjawab. :

كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فَأَتَجَوَّزُ عَنْ الْمُوسِرِ وَأُخَفِّفُ عَنْ الْمُعْسِرِ فَغُفِرَ لَهُ

"Aku melakukan transaksi, lalu aku menerima ala kadarnya bagi yang mampu membayar (hutang) dan meringankan bagi orang yang dalam kesulitan. Maka dia diampuni (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala)". [20]


3. Pemberi pinjaman menghalalkan hutang tersebut, dengan cara membebaskan hutang, sehingga si penghutang tidak perlu melunasi pinjamannya.

Beginilah kebiasaan yang sering dilakukan oleh Salafush ash-Shalih. Jika mereka ingin memberi pemberian, maka mereka melakukan transaksi jual beli terlebih dahulu, kemudian dia berikan barang dan harganya atau dia pinjamkan, kemudian dia halalkan, agar mereka mendapatkan dua kebahagian dan akan menambah pahala bagi yang memberi.

Sebagai contoh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli onta dari Jabir bin Abdullah dengan harga yang cukup mahal. Setibanya di Madinah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan uang pembayaran dan menghadiahakn onta yang telah dibeli tersebut kepada Jabir.

Contoh kedua, Thalhah berhutang kepada Utsman sebanyak lima puluh ribu dirham. Lalu dia keluar menuju masjid dan bertemu dengan Utsman. Thalhah berkata, “Uangmu telah cukup, maka ambillah!”. Namun Utsman menjawab : “Dia untukmu, wahai Abu Muhammad, sebab engkau menjaga muruah (martabat)mu”.

Suatu hari Qais bin Saad bin Ubadah Radhiyallahu ‘anhu merasa bahwa saudara-saudaranya terlambat menjenguknya, lalu dikatakan keadannya : “Mereka malu dengan hutangnya kepadamu”, dia (Qais) pun menjawab, “Celakalah harta, dapat menghalangi saudara untuk menjenguk saudaranya!”, Kemudian dia memerintahkan agar mengumumkan : “Barangsiapa yang mempunyai hutang kepada Qais, maka dia telah lunas”. Sore harinya jenjang rumahnya patah, karena banyaknya orang yang menjenguk. [21]

Sebagai akhir tulisan ini, kita bisa memahami, bahwa Islam menginginkan kaum Muslimin menciptakan kebahagian pada kenyataan hidup mereka dengan mengamalkan Islam secara kaffah dan tidak setengah-setengah. Dalam permasalahan hutang, idealnya orang yang kaya selalu demawan menginfakkan harta Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dititipkan kepadanya kepada jalan-jalan kebaikan. Di sisi lain, seorang yang fakir, hendaklah hidup dengan qana’ah dan ridha dengan apa yang telah ditentukan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya.

Semoga kita semua dijauhkan olehNya dari lilitan hutang, dianugerahkanNya ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih dan rizqi yang halal dan baik.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
________

Footnotes.
[1]. Ahkamul Qur’an, Ibnul Arabi, Beirut, Darul Ma’rifah, 1/247
[2]. Tafsir Quranil Azhim, 3/316
[3]. Ahkamul Qur’an, Ibnu Katsir, Madinah, Maktabah Jami’ Ulum wal Hikam, 1993, 1/247
[4]. Ibid
[5]. Sunan Ibnu Majah, no. 2431
[6]. Al-Mulakhkhashul Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, KSA, Dar Ibnil Jauzi, Cet.IV, 1416-1995, hal. 2/51
[7]. Shahih Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305
[8]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394
[9]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387
[10]. Lihat Fathul Bari (5/54)
[11]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istqradh, no. 2390
[12]. Ibid, no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427
[13]. Ibid, no. 2401
[14]. Ibid, no. 2402
[15]. Fathul Bari (5/62)
[16]. Ibid (5/54)
[17}. HR Abu Dawud, Al-Buyu, Tirmidzi, Al-buyu dan lain-lain
[18]. HR Bukhari, Al-Hawalah, no. 2288
[19]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2405
[20]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2391
[21].Mukhtashar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah, Tahqiq Ali Hasan bin Abdul Hamid, Oman, Dar Ammar, cet II, 1415-1994 hal. 262-263

Kategori Bahasan : Tauhid

Keyakinan Sesat Pada Jimat

Minggu, 25 Nopember 2012 05:22:46 WIB

Oleh
Ustadz Rizal Yuliar

Di antara banyak bentuk kesyirikan yang masih tersebar di tengah masyarakat pada umumnya adalah penggunaan jimat. Bagi mereka jimat diyakini sebagai pelindung (selain Allah Azza wa Jalla ) dari berbagai mala petaka, sakit dan celaka. Atau diyakini dapat mendatangkan manfaat tertentu seperti membawa keberuntungan, pelet pemikat, kemudahan rizki, kepercayaan untuk kenaikan jabatan dan lain sebagainya. Ada jimat berupa cincin /ali-ali, gelang, kalung, bahan-bahan logam berbagai bentuk, tali yang diikatkan pada salah satu anggota tubuh tertentu, ataupun bentuk-bentuk jimat lainnya. Penyakit berbahaya ini tidak hanya melanda masyarakat awam, tetapi juga tidak sedikit kalangan terpelajar atau cendikiawan yang ikut terbawa arus fenomena yang menyedihkan sekaligus menyesatkan ini. Ironisnya, ketika seseorang telah menjadi hamba jimat dan diperbudak oleh kesyirikan perangkap setan, ternyata dia tidak segan mengajarkan bahkan mengajak orang lain melakukan hal yang sama dan demikian seterusnya. Sebagai seorang Mukmin kita layak mengetahui hal ini, agar dapat menghindari dan mencegah diri sendiri dan orang lain terjerumus di dalamnya bahkan menyelamatkan mereka yang telah terjerembab masuk ke dalam lumpur kebinasaan. Nas'alullâha assalâmata wal `âfiyah kita semua hanya memohon kepada Allah Azza wa Jalla keselamatan dan perlindungan.

KEBINASAAN PELAKU SYIRIK
Bertauhîd (mengesakan) Allah Azza wa Jalla dalam semua bentuk ibadah adalah hak Allah Azza wa Jalla yang paling agung. Dan kesyirikan merupakan kezhaliman paling besar terhadap hak Allah Azza wa Jalla tersebut. Ancaman dan murka Allah Azza wa Jalla terhadap syirik dan pelakunya sangat tegas dalam banyak ayat-ayat-Nya. Allah Azza wa Jalla tidak akan mengampuni dosa syirik; amalan pelakunya akan gugur dan dia diharamkan masuk jannah Allah Azza wa Jalla. Allah Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدِ افْتَرَىٰ إِثْمًا عَظِيمًا

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni dosa selain dari (syirik) itu bagi siapapun yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa mempersekutukan Allah  (berbuat syirik) maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. [an-Nisâ`/4 : 48]


وَلَوْ أَشْرَكُوا لَحَبِطَ عَنْهُمْ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

Seandainya mereka melakukan kesyirikan kepada Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan. [al-An`âm/6: 88]

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ

Sesungguhnya orang yang berbuat syirik kepada Allah maka pasti Allah haramkan baginya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu para penolong. [al-Mâidah/5: 72]

Keseragaman risalah dakwah seluruh Nabi dalam menegakkan tauhid Allah Azza wa Jalla di muka bumi ini semakin mempertegas keagungan nilai tauhid dan nistanya perbuatan syirik. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Dan sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) sebelum engkau; "Jika kamu mempersekutukan Allah (dengan syirik) niscaya akan gugurlah amalmu dan tentulah kamu menjadi orang-orang yang merugi (diadzab)". [az-Zumar/39: 65]

KESYIRIKAN DALAM JIMAT
Jimat biasanya berupa ikatan yang terbuat dari besi, emas, perak atau logam lain sejenis atau apa saja yang diyakini dapat menangkal serta menghilangkan mala petaka dan celaka; atau diyakini dapat mendatangkan suatu manfaat. Sebagian orang mengenakannya di salah satu anggota badan dirinya atau keluarganya, digantungkan di atas pintu dalam rumah, toko, kendaraan atau selainnya.[1] Memakai jimat dengan berbagai jenisnya adalah syirik. Apabila diyakini pemakainya bahwa jimat itu dapat berpengaruh langsung tanpa kehendak Allah Azza wa Jalla , maka ia menjadi musyrik dengan jenis syirik besar dalam perkara tauhîd rubûbiyah karena dia telah meyakini tuhan selain Allah Azza wa Jalla . Namun, jika dia meyakini jimat tersebut sebagai sebab (perantara) dan tidak memberikan pengaruh langsung, maka tergolong syirik kecil. Karena saat dia meyakini sesuatu sebagai sebab padahal tidaklah demikian, maka sesungguhnya dia telah menyamai Allah Azza wa Jalla dalam menentukan hal tersebut sebagai sebab; padahal Allah Azza wa Jalla tidaklah menjadikannya sebagai sebab.[2]

Dari `Imrân bin Hushain Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang pria mengenakan ikatan jimat yang terbuat dari tembaga di tangannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya "Apa ini?". Pria tersebut menjawab: "(aku memakainya) Karena (tertimpa) penyakit wahînah". Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata "Lepaskanlah! Sesungguhnya (jimat) itu tidak akan menambahkanmu selain penyakit. Jika engkau mati dan jimat itu masih berada pada dirimu maka engkau tidak akan bahagia dan berjaya hingga kapanpun!".[3] Jika ancaman ketidakbahagiaan itu disampaikan kepada seorang Sahabat mulia Radhiyallahu anhu lantaran dia memakai jimat; maka bagaimana jadinya apabila pemakai jimat itu ternyata seorang biasa yang tidak memiliki kemuliaan sebagaimana kemuliaan para Sahabat Radhiyallahu anhu ?! Jelas akan lebih jauh dari kebahagiaan!! . Maka berhati-hatilah dalam hal ini!! Ketegasan sikap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memberantas kesyirikan dan penggunaan jimat semacam ini sangat dicermati dengan baik dan diteladani oleh para Sahabat Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta Ulama salaf pada umumnya, karena yang demikian adalah sikap mengingkari kemungkaran dan pembelaan terhadap hak Allah Azza wa Jalla .

Suatu hari Hudzaifah Radhiyallahu anhu menjenguk seorang pria yang sedang sakit, yang di lengan tangannya terdapat tali jimat penangkal demam. Hudzaifah Radhiyallahu anhu segera memotongnya, lalu membaca firman Allah Azza wa Jalla [Yûsuf/12:106] :

وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلَّا وَهُمْ مُشْرِكُونَ

"Tidaklah sebagian besar mereka beriman kepada Allah melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)".[6] Sa`îd bin Jubair Radhiyallahu anhu berkata "Barangsiapa memotong satu jimat (tamîmah) dari seseorang maka ia berpahala seakan telah memerdekakan seorang budak".[7]

Menggunakan jimat-jimat ini adalah perbuatan syirik (yang dapat menjadi besar ataupun kecil) tergantung keyakinan pemakainya. Karena barangsiapa menetapkan suatu perantara padahal Allah Azza wa Jalla tidak pernah sekalipun menjadikannya sebagai sebab perantara syar`i maupun qadari; maka sungguh dia telah menjadikannya sekutu bagi Allah Azza wa Jalla . Membaca surat al-Fatihah adalah sebab perantara syar`i (yang memang disyariatkan) untuk mendapatkan kesembuhan (dari Allah Azza wa Jalla ). Ataupun sebagaimana mengkonsumsi makanan (berserat) adalah suatu sebab yang terbukti dapat memudahkan proses buang air; dan ini adalah qadari karena dapat diketahui melalui berbagai pengalaman.[8] Sedemikian benci Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap penggunaan jimat, sehingga pada suatu saat ketika sekelompok orang mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (untuk berbaiat kepada Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ); maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan baiat kepada sembilan orang dan membiarkan seseorang di antara mereka. Kemudian mereka bertanya: “Wahai Rasulullah, engkau telah membaiat sembilan orang dan meninggalkan seseorang (di antara kami)?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab "Sesungguhnya dia memakai tamîmah". Dia memasukkan tangannya dan memotong jimatnya; kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan baiatnya seraya bersabda: "Barangsiapa memakai jimat (tamîmah) maka dia telah berbuat syirik".[9]

Tamîmah ialah jimat yang dikalungkan pada seseorang dan diyakini dapat menangkal bahaya, penyakit `ain atau mendatangkan manfaat dan kebaikan tertentu [10]. Secara umum tamîmah terbagi menjadi dua macam.

Pertama: yang terbuat dari selain al-Qur`ân seperti tulang, kerang, keong, tali benang, paku, nama-nama setan dan lainnya maka ini tidak diragukan lagi adalah syirik karena seseorang menggantungkan sesuatu kepada selain Allah Azza wa Jalla .

Kedua: yang berasal dari al-Qur`ân, Asma dan Sifat Allah Azza wa Jalla ; maka terdapat selisih pendapat dalam pembolehannya. Dan pendapat yang kuat adalah tidak diperbolehkannya hal demikian.

Setidaknya ada tiga hal yang menguatkan pendapat larangan tersebut:
1. Keumuman dalil-dalil larangan mengenakan tamîmah dan tidak ada dalil yang mengkhususkannya.

2. Ditutupnya segala pintu atau celah yang akan menyeret kepada kesyirikan seperti akan digantungkannya hal yang tidak mubah.

3. Jika seseorang memakai tamîmah yang berisi dari al-Qur`ân atau Asma dan Sifat Allah Azza wa Jalla , maka sudah barang tentu ia akan membawanya ke manapun termasuk ke kamar kecil untuk membuang hajatnya dan ini termasuk sikap menghinakan al-Qur`ân.[11]

Ibrâhîm an-Nakha`i rahimahullah berkata "Para salaf membenci (mengharamkan) semua bentuk tamîmah baik yang terbuat dari al-Qur`ân ataupun selainnya"[12] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda "Sesungguhnya ruqyah (jampi-jampi azimat), tamîmah dan pelet adalah syirik".[13] Al-Khathabi berkata "Ruqyah yang dilarang adalah yang tidak berbahasa Arab; karena boleh jadi mengandung sihir atau kekufuran. Adapun jika dipahami maknanya dan terdapat dzikir terhadap Allah Azza wa Jalla di dalamnya, maka yang demikian dianjurkan serta diharapkan barakahnya, Wallâhu A`lam.[14]

Syaikh al-Albâni berkata "Ruqyah yang dimaksud dalam hadits ini adalah yang terdapat di dalamnya permohonan lindungan kepada jin atau ruqyah yang tidak dipahami maknanya…".[15] Perlu diketahui bahwa tidak semua jenis ruqyah adalah syirik. Ada beberapa ketentuan lazim sehingga sebuah ruqyah boleh dilakukan. `Auf bin Mâlik Al-'Asyjâ`i z berkata: “Dahulu semasa jahiliyah kami melakukan bacaan ruqyah. Kemudian kami bertanya : “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagaimana pendapat engkau?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab “Tunjukkan kepadaku ruqyah kalian, tidaklah mengapa (dilakukan) ruqyah selama bukan kesyirikan"[16]. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukannya, beliau juga pernah diruqyah oleh Jibrîl Alaihissallam [17] Demikian pula oleh `Aisyah Radhiyallahu anhuma.[18]

Para Ulama rahimahumullâh menjelaskan syarat-syarat ruqyah yang diperbolehkan yaitu:

Pertama: Ruqyah yang dilakukan adalah bacaan al-Qur`ân, al-Hadits atau Asma dan Sifat Allah Azza wa Jalla ,

Kedua: Berbahasa Arab atau yang dapat dipahami,

Ketiga: Tidak diyakini bahwa ruqyah tersebut dapat memberikan manfaat dengan sendirinya kecuali dengan kuasa dan izin Allah Azza wa Jalla semata.[19] Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda "Barangsiapa bergantung pada tamîmah maka Allah tidak akan menyempurnakan tujuannya, barangsiapa bergantung pada kalung jimat maka Allah tidak akan memberikan ketenangan dan kedamaian padanya".[20]

WASIAT RASULULLAH SHALLALLAHU ALAIHI WA SALLAM UNTUK MEMBERANTAS JIMAT.
Ketika Abu Basyîr al-Anshâri Radhiyallahu anhu bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di sebagian safarnya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim seorang utusan dan berkata "Jangan biarkan ada jimat (yang digantungkan) di leher onta, kecuali harus dipotong".[21] Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari segala bentuk kesyirikan termasuk jimat sesat. Dari Ruwaifi` Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya "Wahai Ruwaifi`, sesungguhnya engkau akan hidup panjang. Maka kabarkanlah kepada manusia bahwa barangsiapa mengikat janggutnya, atau bergantung pada jimat, atau bersuci dengan kotoran dan tulang hewan, maka sesungguhnya Muhammad berlepas diri darinya".[22] Bahkan Allah Azza wa Jalla akan membiarkan ketergantungan seseorang kepada sesuatu selain Allah Azza wa Jalla , dan Allah Azza wa Jalla akan menampakkan kelemahannya; karena tidak ada sesuatupun yang terjadi melainkan dengan kuasa dan izin Allah Azza wa Jalla , Rabb semesta alam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

مَنْ تَعَلَّقَ شَيْئًا وُكِّلَ إِلَيْهِ

Barangsiapa bergantung pada sesuatu (selain Allah) maka dia akan dipasrahkan kepadanya.[23] Yakni dibiarkan dirinya bergantung pada sesuatu dan Allah Azza wa Jalla akan mengabaikannya.[24]

MEMOHONLAH HANYA KEPADA ALLAH WA JALLA
Islam mengajarkan setiap hamba untuk senantiasa bertauhîd mengesakan Allah Azza wa Jalla dalam setiap amal perbuatan, mendekatkan diri kepada-Nya serta berlindung dan memohon penjagaan hanya dari-Nya. Tidak kurang dari tujuh belas kali dalam setiap shalat seorang Muslim membaca, namun tidak jarang di antara mereka yang belum memahami untuk kemudian mengamalkan kandungan maknanya; bacaan itu adalah:

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ

Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami memohon pertolongan. [al-Fâtihah/1:5]

Sekecil apapun kesulitan atau musibah yang dihadapi seorang hamba, hendaklah dia mengadu dan bersandar kepada Allah Azza wa Jalla yang Maha segalanya. Karena dia menyadari sepenuhnya bahwa hidup dan matinya adalah di tangan Allah Azza wa Jalla.

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Katakanlah sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam. [al-An`âm/6:162]

Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu yang masih sangat belia dan ajaran itu sekaligus menjadi arahan wasiat bagi seluruh umatnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: "Wahai anak, sesungguhnya aku akan mengajarkanmu beberapa kalimat : (("Jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu. Jagalah Allah niscaya engkau akan dapatkan Allah di hadapanmu (menolongmu). Apabila engkau memohon maka memohonlah kepada Allah, dan apabila engkau meminta pertolongan maka memintalah pertolongan dari Allah. Ketahuilah bahwa jika seluruh umat manusia berkumpul untuk memberikan suatu manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan memberikan apapun melainkan apa yang telah Allah takdirkan bagimu. Dan apabila mereka berkumpul untuk mencelakakanmu maka mereka tidak akan dapat melakukannya, melainkan apa yang telah Allah gariskan untukmu. Pena (qalam) telah diangkat dan shuhuf (lembaran takdîr) telah kering")).[25]

DOA DAN WIWIRD-WIWIRD SYAR’I TELAH DICONTOHKAN
Hukum vonis syirik dalam jimat bukan tanpa solusi dalam mencari perlindungan dari berbagai mala petaka dan celaka. Berbagai doa perlindungan dari celaka dan bahaya telah sempurna diajarkan dalam Islam. Ini semua agar umat hanya mengesakan Allah Azza wa Jalla dalam setiap ucapan dan langkah amalannya; demikian juga agar terjauhkan dari segala bentuk kesyirikan. Semenjak seorang Muslim bangun dari tidurnya, hingga ia akan tidur kembali, bahkan saat ia mendapatkan mimpi buruk dalam tidurnya. Di setiap tempat dan keadaan, dalam kondisi bermukim dan safar, tatkala rasa was-was menghampirinya, doa dan dzikir di pagi hari dan petangnya. Demikian pula harapan kebaikan bagi dirinya, semua itu telah disempurnakan dalam ajaran Islam baik yang termaktub dalam al-Qur`ân maupun al-Hadits; sebagaimana ketentuan contoh dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Namun bukan dengan "memaksakan" ayat-ayat atau bacaan-bacaan tertentu agar dapat menjadi doa yang ternyata menyimpang dari tuntunan ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Barangsiapa mengamalkan sesuatu yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka amal tersebut pastilah tertolak dan sia-sia.

PELAJARAN YANG DAPAT DIAMBIL:
1.Kewajiban bertauhîd kepada Allah Azza wa Jalla dalam setiap keadaan dan keharaman berbuat syirik dengan bentuk apapun dan dalam kondisi apapun.

2. Islam telah menutup semua celah yang akan menghantarkan kaum Muslimin kepada kesyirikan.

3. Syirik adalah kezhaliman terbesar terhadap hak Allah Azza wa Jalla yang Maha Besar. Pelakunya terancam dengan kesengsaraan di dunia dan adzab pedih di akhirat.

4. Mengenakan jimat dengan berbagai keyakinannya adalah perbuatan syirik baik diyakini sebagai perantara maupun sebagai pelaku utama selain Allah Azza wa Jalla .

5. Wajib mengingkari kemungkaran syirik dan dosa lainnya namun sesuai ketentuan hukum syariat Islam.

6. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menetapkan bahwa jimat tamîmah adalah syirik dan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berwasiat untuk memeranginya dan memberantasnya.

7. Tidak ada jalan lain untuk mencari kebahagiaan dan menjauh dari kesengsaraan melainkan dengan menjalankan semua bagian syariat islam.

8. Memohon perlindungan hanyalah dari Allah Azza wa Jalla semata. Arahan Islam dalam memohon perlindungan dari berbagai bahaya dan celaka telah sempurna diajarkan dalam al-Qur`ân dan Sunnah.

Semoga Allah Azza wa Jalla senantiasa membimbing kita untuk dapat berjalan di atas cahaya kebenaran Islam, amîn.

Referensi:
1. Al-Mustadrak, Dâr Kutub `Ilmiyah Libanon. Cet II th.1422 H/2002 M. Muhammad `Abdullâh al-Hâkim an-Naisâburi.
2. Al-Mushannaf, Al-Maktabah at-Tijâriyah Dâr Al-Fikr Beirut Libanon. Cet th. 1414 H/ 1994 M. `Abdullâh bin Muhammad bin Abi Syaibah al-Kufi
3. Al-Qaulul-Mufîd `ala Kitab at-Tauhîd, Dâr Ibnul-Jauzi KSA . Cet II th.1424 H. Muhammad Shâlih al-Utsaimîn
4. At-Tamhîd li Syarhi Kitab at-Tauhîd, Dâr at-Tauhid KSA. Cet I 1424 H/2003 M. Shâlih `Abdul `Azîzi Alu Syaikh.
5. Aunul Ma'bûd Syarh Sunan Abi Dâwud, Dâr al-Fikr Beirut Libanon. Cet III th.1399 H/1979 M. Muhammad Syamsul Haqqil 'Azhîm Abadi.
6. Fathul-Majîd Syarh Kitab at-Tauhîd, Dârul-Kitâb al-Islâmi Madinah KSA. `Abdurrahman bin Hasan Alu Asy-Syaikh.
7. Musnad Ahmad, Mu'assasah ar-Risâlah Beirut Libanon. Cet I th.1420 H/1999 M - Baitul-Aqthar Ad-Dauliyyah, th.1419 H/1998 M. Ahmad bin Hanbal Asy-Syaibani.
8. Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, Maktabah al-Ma`ârif Riyâdh KSA. Cet th.1415 H/1995 M. Muhammad Nâshiruddin al-Albâni .
9. Shahîh Sunan Abi Dâwud, Al-Maktab al-Islâmi Beirut Libanon. Cet I th.1409 H/1989 M. Sulaimân al-Asy'âts as-Sijistâni - Muhammad Nâshiruddin al-Albâni.
10. Shahîh Sunan an-Nasâ'i, Al-Maktab al-Islâmi Beirut Libanon. Cet I th.1408 H/1988 M. Ahmad bin Syu'aib an-Nasâ'i - Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni.
11. Shahîh Sunan Ibnu Mâjah, Al-Maktab al-Islâmi Beirut Libanon. Cet III th.1408 H/1988 M. Muhammad bin Yazîd al-Qazwini - Muhammad Nâshiruddîn al-Albâni.
12. Shahîh Sunan at-Tirmidzi, Al-Maktab al-Islâmi Beirut Libanon. Cet I 1409 H/1989 M. Muhammad bin `Isa at-Tirmidzi - Muhammad Nâshiruddin al-Albâni.
13. Shahîh Muslim, Dâr as-Salâm Riyâdh KSA. Cet I th.1419 H/1998 M. Muslim bin Hajjâj an-Naisâburi.
14. Shahîh al-Bukhâri, Dâr As-Salam Riyâdh KSA. Cet II th.1419 H/1999 M. Muhammad bin Ismâ'îl al-Bukhâri.
15. Tuhfatul Ah-wadzi Syarh Jâmi' at-Tirmidzi, Maktabah Ibnu Taimiyah. Cet III th.1407 H/1987 M. Muhammad `Abdurrahmân al-Mubârakfury.
16. Tafsîrul-Qur`ân al-`Azhîm, Muassasah Ar-Rayyân Libanon. Ismâ`îl bin Katsîr ad-Dimasyqi

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/1430/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Lihat catatan penting Syaikh al-Albâni tentang hal ini dalam Silsilah Shahîhnya takhrîj hadits no: 492
[2]. Al-Qaulul-Mufîd `ala Kitab at-Tauhîd, hal: 107
[3]. Ahmad no: 20000, al-Hâkim no: 7502 dengan sanad yang shahîh tanpa penyebutan kebahagiaan. Al-Hâkim berkata "sanad hadits ini shahîh namun belum diriwayatkan oleh al-Bukhâri dan Muslim". Wallâhu A`lam
[4]. Al-Qaulul-Mufîd `ala kitab at-Tauhîd, hlm: 112
[5]. Lihat kitab At-Tauhîd, Syaikh Muhammad bin `Abdul Wahâb mencantumkan permasalahan sekaligus hadits ini sebagai larangan salah satu jenis kesyirikan dalam bab: "Di antara bentuk kesyirikan menggunakan kalung jimat dan selainnya"
[6]. Ibnu katsîr menyebutkan atsar ini dalam tafsir Qs Yûsuf/12:106 (2/642)
[7]. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf 5/428 no: (18). Dan keserupaan itu dijelaskan Syaikh Ibnu `Utsaimîn dalam Al-Qaulul-Mufîd `ala Kitab at-Tauhîd, hal: 123
[8]. Al-Qaulul-Mufîd `ala Kitab at-Tauhîd, hlm: 107
[9]. Ahmad no: 17422, dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam Silsilah Shahîhah no: 492
[10]. At-Tamhîd li Syarhi Kitab at-Tauhîd, hlm: 109, Fathul-Majîd, hlm 151, Al-Qaulul-Mufîd `ala Kitab at-Tauhîd, hlm: 117
[11]. Fathul Majîd, hlm: 152-153
[12]. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf , no: 3518
[13]. Shahîh Sunan Abi Dâwud no: 3288, Shahîh Sunan Ibnu Mâjah no: 2845, Ahmad no: 3615, Silsilah Shahîhah no: 331
[14]. Aunul-Ma`bûd 10/367
[15]. Silsilah Shahîhah 1/649
[16]. Muslim no: 5732, Shahîh Sunan Abi Dâwud no: 3290
[17]. Muslim no: 5700
[18]. Al-Bukhâri no: 5735
[19]. At-Tamhîd li Syarhi Kitab at-Tauhîd, hlm: 108-109, kitab At-Tauhîd karya Syaikh Shâlih al-Fauzân, hlm: 67-68
[20]. Ahmad no: 17404, al-Hâkim no: 7501
[21]. Al-Bukhâri no: 3005, Muslim no: 5549
[22]. Ahmad no: 16995, Shahîh Sunan Abu Dâwud no: 27, Shahîh Sunan an-Nasâ`i no: 4692, Syaikh al-Albâni berkata "shahîh"
[23]. Ahmad no: 18781, al-Hâkim 7503, dihasankan Syaikh al-Albâni dalam Shahîh Sunan at-Tirmidzi no: 1691
[24]. Tuhfatul Ahwadzi 6/239, Al-Qaulul-Mufîd `ala Kitab at-Tauhîd, hal: 119
[25]. Shahîh Sunan at-Tirmidzi no: 2043

Kategori Risalah : Do'a & Taubat

Mengharap Berkah Melalui Dzikir Kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala

Jumat, 3 Agustus 2012 06:18:49 WIB

Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i


Hakikat dari keberkahan adalah kebaikan yang senantiasa ada, kontinu, melimpah dan semakin bertambah. Dan semua kebaikan baik yang bersifat duniawi maupun ukhrawi berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala -sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya pada bahasan pendahuluan-. Karena itu, keberkahan tidak boleh diharapkan dan diminta kecuali hanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, atau boleh juga melalui segala sesuatu yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala titipkan suatu keberkahan kepadanya, yang tentunya dengan cara yang sesuai dengan syariat (masyruu’). Dan dzikrullaah (dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala) merupakan salah satu sarana dalam mencari keberkah-an dari-Nya.

Dzikir (mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala) dapat dilakukan dengan hati (bil qalbi), dan dapat pula dengan lisan (bil lisaan). Namun yang terbaik (al-afdhal) adalah dengan hati dan lisan sekaligus [1], tetapi jika dibatasi pilihannya hanya pada salah satu dari keduanya, maka dengan hatilah yang lebih utama (afdhal)[2] , karena dzikir hati (dzikrul Qalbi) akan membuahkan pengetahuan (ma’rifah) dan membang-kitkan rasa cinta (al-mahabbah) dan rasa malu (al-hayaa’), melahir-kan rasa takut (makaafah) serta menghadirkan rasa pengawasan (muraaqabah) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.[3]

Macam-Macam Dzikir
Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya, al-Waabilush Shayyib menyebutkan tentang jenis-jenis dzikir, bahwa dzikir itu terbagi dua macam, yaitu:

Pertama : Menyebut Nama-Nama, Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menyanjung-Nya dengan menggunakan Nama-Nama dan Sifat-Sifat tersebut, juga mensucikan-Nya dari segala dari segala hal yang tidak layak untuk disandarkan kepada-Nya. Dan hal ini pun terbagi lagi menjadi dua:

1. Melakukan puji-pujian terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menyebut Nama-Nama maupun Sifat-Sifat-Nya.
Bagian inilah yang sering diterangkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti, سُبْحَانَ اللهُ، وَالْحَمْدُ للهِ، وَلاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ dan سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ serta لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ، وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ atau yang lainnya.

Dan yang terbaik (afdhal) dalam bagian ini serta mencakup segala pujian, adalah سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ خَلْقِهِ. Ini lebih utama (afdhal) dari sekedar سُبْحَانَ اللهُ. Sebagaimana jika engkau mengucapkan, “الْحَمْدُ للهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ وَعَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الأَرْضِى وَعَدَدَ مَا بَيْنَهُمَا، وَعَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ” lebih utama (afdhal) dari sekedar “الْحَمْدُ للهِ”. Beliau menguatkan pendapat ini dengan menyebutkan beberapa hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Informasi [4] tentang Allah Tabaaraka wa Ta‘aalaa dengan berbagai kaidah Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya yang sempurna.
Seperti, bahwa Allah Azza wa Jalla mendengar suara-suara hamba-Nya, melihat gerak-gerik mereka, tidak ada sesuatu pun dari amal mereka yang tersembunyi, Dia Mahapenyayang kepada mereka, lebih dari orang tua mereka dan bahwa Dia Mahakuasa atas segala se-suatu, dan yang lainnya.

Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah melanjutkan: “Dan (cara) yang terbaik dari jenis ini, yaitu pujian kepada-Nya dengan pujian yang Dia gunakan dalam memuji Diri-Nya sendiri, dan dengan pujian yang Rasul-Nya, Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam gunakan dalam memuji-Nya tanpa tahriif (menyimpangkan makna dari Nama dan Sifat-Nya), tanpa ta’thiil (meniadakan Sifat-Sifat-Nya), tanpa tasybiih (menye-rupakan Zat dan Sifat-Nya dengan zat dan sifat makhluk-Nya) dan tanpa tamtsiil (menyamai Zat dan Sifat-Nya dengan zat dan sifat makhluk-Nya).

Lalu beliau menyebutkan beberapa jenis yang lain lagi, dan berkata:
Kedua, menyebut dan mengingat perintah, larangan dan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Jenis ini pun terklasifikasi menjadi dua macam:
1. Menyebut dan mengingat hal-hal tersebut sebagai informasi dan pemberitahuan dari-Nya, bahwa Allah Ta’ala telah memerintahkan hal ini, melarang hal itu, suka pada hal ini, murka pada hal itu, serta ridha terhadap hal yang demikian.

2. Menyebut dan mengingat perintah-Nya kemudian bersegera merealisasikannya, atau menyebut dan mengingat larangan-Nya kemudian bersegera menjauhkan diri darinya.
Beliau melanjutkan: “Dan termasuk dari berdzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dengan menyebut-nyebut karunia dan nikmat-Nya, kebaikan-Nya, bantuan-Nya dan segala pemberian-Nya kepada hamba-hamba-Nya. Maka, semuanya ada lima macam dzikir.”[5]

Kesimpulannya adalah, berdzikir kepada Allah Ta‘ala terbagi menjadi: Menyebut Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya Ta‘ala, yang sengaja digunakan untuk berdzikir maupun yang bersifat pengkabaran. Dan mengingat perintah dan larangan-Nya beserta hukum-hukum-Nya, baik yang bersifat ucapan (qaulan) maupun prakteknya (‘amalan), dan menyebut-nyebut nikmat-nikmat-Nya dan kebaikan-kebaikan-Nya kepada makhluk-Nya.

Maka, dibolehkan mencari berkah dengan dua dzikir yang tersebut di atas tadi, dengan jenis-jenis dan macam-macamnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan petunjuk kepada kita agar membaca dzikir dan wirid-wirid yang disyariatkan baik yang umum maupun khusus, dan terikat oleh tempat, waktu maupun keada-an, seperti dzikir yang disyariatkan dalam shalat, sesudah adzan, haji dan berbagai ibadah lain, juga seperti dzikir-dzikir siang dan malam yang telah masyhur, contohnya dzikir pagi dan sore, saat tidur, mengendarai kendaraan, saat berpakaian, dan selainnya. Begitu pun pada saat tertentu dan kondisi-kondisi tertentu yang berbeda-beda serta pada seluruh keadaan seorang Muslim.

Lafazh dzikir tertera dan termaktub dalam buku-buku Sunnah, dan sebagian ulama telah memisahkan pembahasan dzikir tersebut dalam buku yang tersendiri. Yang paling populer dan terbaik adalah kitab al-Adzkaar yang ditulis oleh Imam Nawawi rahimahullah. Adapun hukum berdzikir tersebut adalah beragam, ada yang wajib seperti dzikir-dzikir shalat, contohnya tasbih saat ruku’ dan sujud, serta selainnya. Begitu juga ada yang Sunnah, kelompok inilah yang terbanyak dari yang sebelumnya.

Menyebut Nama-Nama Allah Ta‘ala Adalah Salah Satu Bentuk Dzikir
Termasuk dalam kategori dzikir adalah menyebut Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala saat akan berbicara dan bekerja. Tasmiyyah (mengucapkan بِسْمِ اللهِ) ini disunnahkan di awal setiap perkataan maupun perbuatan.[6] Artinya, “Aku memulai dengan menyebut Nama Allah (bi tasmiyyatillaah) sebelum aku berkata maupun aku berbuat.” Di antara hikmah dari dzikir ini adalah memperoleh keberkahan yang bersifat ukhrawi maupun duniawi pada hal-hal tersebut, serta menghalangi kerusakan-kerusakan dan keburukan darinya, dengan kemuliaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan pertolongan-Nya.

Setelah memberikan contoh-contoh bagi hal tersebut, al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yang disyariatkan adalah menyebut Nama Allah Subhanahu wa Ta’ala pada saat akan melakukan hal-hal tersebut di atas, dengan maksud untuk mengharap berkah, percaya, optimis dan berharap sebagai penolong, agar Allah berkenan menyempur-nakannya serta menerimanya.”[7] Dan di antara perkara-perkara yang disyariatkan bertasmiyyah (menyebut Nama Allah) padanya adalah pada saat berkurban dan berburu.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

“Dan janganlah kamu mamakan binatang-binatang yang tidak disebut Nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan...” [Al-An‘aam: 121]

Dan juga firman-Nya:

فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ

“...Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah Nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya)...” [Al-Maa-idah: 4]

Serta pada saat berwudhu’, mandi, tayammum,[8] dan juga pada saat masuk dan keluar masjid. Juga saat makan dan minum, sebagaimana yang disebutkan dalam ash-Shahiihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim), dari ‘Umar bin Abi Salamah[9] Radhiyallahu anuma berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku:

"يَا غُلاَمُ سَمِّ اللهَ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ!"

“Wahai pemuda sebutlah dengan Nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu!”[10]

Di dalam beberapa kitab Sunan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا، فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ فَإِنْ نَسِيَ فِي أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ فِي أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ."

“Jika salah seorang diantara kalian makan, maka ucapkanlah bismillaah (dengan Nama Allah). Namun bila ia lupa, maka ucapkanlah bismillaahi fii awwalihi wa aakhirihi (dengan Nama Allah di awal dan akhirnya).” [11]

Dan juga di antaranya adalah tasmiyyah ketika akan masuk dan keluar rumah, ketika akan tidur, akan jima', dan selainnya. Demikian pula basmalah (yaitu mengucapkan بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ) disyariatkan di saat akan membaca awal dari surat-surat dalam al-Qur-an kecuali pada surat Bara-ah (at-Taubah).

Sebagian ulama telah menyebutkan beberapa alasan melakukan hal tersebut, diantaranya dalam rangka bertabarruk (meng-harap berkah) dengannya. Demikian pula telah disepakati oleh para ulama umat, agar menuliskannya pada permulaan buku-buku maupun surat.

Shalawat Atas Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam
Dan termasuk pula dalam dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah, shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia merupakan bagian dari dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ungkapan syukur kepada-Nya, serta mengakui nikmat-Nya terhadap hamba-Nya dengan mengutus beliau, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Shalawat atas Nabi adalah hukumnya wajib pada saat tasyahhud akhir dalam shalat -dengan lafazh yang telah diketahui sesuai menurut Sunnah- menurut pendapat yang lebih tepat dari dua pendapat ulama yang ada.[12] Shalawat tersebut juga disyari’atkan dalam berbagai kondisi, sebagaimana yang telah disebutkan oleh Imam Ibnul Qayyim bahwasanya (shalawat ini) disyari’atkan dalam 40 kondisi dengan beserta dalil-dalilnya dalam kitab beliau, Jalaa-ul Afhaam fiish Shalaah was Salaam ‘alaa khairil Anaam.[13] Di antaranya adalah shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika disebutkan namanya,[14] di awal-awal do’a serta akhirnya, pada hari Jum’at, dan selainnya.

Adapun dalil disyariatkannya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepada-nya.” [Al-Ahzab: 56]

Serta hadits-hadits yang menganjurkannya, memperbanyak jumlahnya serta mengungkapkan keutamaan-keutamaannya adalah sangat banyak sekali.[15] Saya nukilkan di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا."

“Barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat[16] padanya 10 kali.”[17]

Dan disebutkan pada dalam kitab-kitab Sunan dari Anas Radhiyallahu anhu dengan lafazh:

"صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرَ صَلَوَاتٍ، وَحُطَّتْ عَنْهُ عَشْرُ خَطِيئَاتٍ، وَرُفِعَتْ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ."

“Niscaya Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali dan di-hapus darinya 10 kesalahan dan diangkat baginya 10 derajat.”[18]

[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Seandainya makna tersebut ditambahkan dengan menghayati makna dzikir dan segala yang terkandung di dalamnya, seperti mengagungkan Allah Ta‘ala, dan menolak segala sifat kekurangan yang di-nisbatkan kepada-Nya, maka akan lebih sempurna. Jika hal tersebut hadir dalam amalan shalih, lebih-lebih pada segala amal yang wajib, seperti shalat, jihad atau yang lainnya, maka akan menambah kesempurnaannya. Seandai-nya niat dalam mengamalkan suatu amalan sudah benar dan ikhlas karena Allah Ta‘ala, maka akan lebih sempurna lagi. Fat-hul Baari (XI/209).
[2]. Dari kitab al-Adzkaar (hal.6) karya Imam an-Nawawi.
[3]. Al-Wabilush Shayyib wa Raafi’ al-Kalimith Thayyib (hal. 190), oleh Imam Ibnul Qayyim.
[4]. Dari tinjauan penentapan sifat dan dalil-dalilnya, maka Sifat-Sifat Allah Ta‘ala terklasifikasi menjadi dua macam: Pertama, sifat-sifat khabariyah (informatif), yaitu sifat-sifat yang tidak ada jalan untuk menetapkannya kecuali melalui pendengaran dan pemberitaan dari Allah Ta‘ala atau dari Rasulullah j. Karena itu disebut pula sifat-sifat sam‘iyah atau naqliyah, dan terkadang berupa dzaatiyah; seperti wajah dan kedua tangan; dan ada pula yang berupa fi’liyah seperti gembira dan tertawa. Dan ini yang sedang kita bahas saat ini. Kedua, sifat-sifat sam‘iyah aqliyah, yaitu sifat-sifat yang penetapannya disertakan pula dalil-dalil sam‘i (naqli) bersamaan dengan dalil-dalil ‘aqli. Sifat-sifat ini pun ada kalanya berupa dzaatiyah, seperti hidup, ilmu, kekuasaan, dan adapula yang berupa fi‘liyah seperti mencipta dan memberi.-Pent.
[5]. Al-Waabilush Shayyib (hal. 187-190), dengan sedikit perubahan.
[6]. Lihat Tafsir Qurthubi (I/97) dan Tafsir Ibni Katsir (I/9). Imam al-Bukhari membuat bab khusus dalam kitab Shahihnya yaitu bab at-Tasmiyatu ‘ala Kulli Haalin wa ‘inda Wiqaa’ di dalam Kitab Wudhu’. Lihat Shahih al-Bukhari (I/44).
[7]. Tafsiir Ibni Katsir (I/19).
[8]. Sebagian besar ulama mewajibkan tasmiyyah dalam hal-hal tersebut dan di antara mereka ada yang membedakan antara saat lupa dan tidak. Untuk lebih lengkapnya dalam hal ini, lihat buku-buku tafsir, hadits serta fikih.
[9]. Beliau adalah ‘Umar bin Abi Salamah bin ‘Abdirrahman bin ‘Auf az-Zuhri al-Madani, anak tiri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam karena ibunya adalah isteri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, memimpin Bahrain pada masa ‘Ali Radhiyallahu anhu, wafat di Madinah pada th. 83 H. Lihat Asaadul Ghaabah (III/680), al-‘Ishaabah (II/512) dan Tahdziibut Tahdziib (VII/456).
[10]. Shahih al-Bukhari (VI/196) kitab al-Ath’imah bab at-Tasmiyatu ‘alath Tha’aam wal Aklu bil Yamiin dan Shahih Muslim (III/1599) kitab al-Asyribah bab Aadaabuth Tha’aam wasy Syaraab wa Ahkaamuhuma.
[11]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya (IV/139) kitab al-Ath’imah bab at-Tasmiyatu ‘alath Tha’aam dan at-Tirmidzi dalam Sunannya (IV/288) kitab al-Ath’imah bab at-Tasmiyatu ‘alath Tha’aam, ia berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Serta Ibnu Majah dalam Sunannya (II/1087) kitab al-Ath’imah bab at-Tasmiyatu ‘indath Tha’aam, Imam Ahmad dalam Musnadnya (VI/208), ad-Darimi dalam Sunannya (III/94) kitab al-Ath’imah bab at-Tasmiyatu ‘alath tha’aam, al-Hakim dalam al-Mustadrak (IV/108) kitab al-Ath’imah dan ia berkata, “Hadits ini sanadnya shahih dan tidak diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.” Serta disetujui oleh adz-Dzahabi.
[12]. Jalaa-ul Afhaam fish Shalaati was Salami ‘alaa Khairil Anaami (hal. 193-216) karya Ibnul Qayyim, yang menyebutkan dalil-dalil dari kedua pendapat dan beberapa kritikan-kritikan yang sekaligus juga menguatkan akan hukum wajibnya.
[13]. Lihat pada halaman 155-210.
[14]. Sebagian ulama mewajibkannya dalam hal ini, lihat tahqiq masalah tersebut pada referensi sebelumnya (hal. 229-240) demikian juga disyariatkan penu-lisan shalawat ketika nama beliau dituliskan. Ibnu Katsir berkata. “Para penulis mengajak agar (setiap) penulis mengulangi shalawat setiap kali me-nulis nama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam .” Tafsir Ibni Katsir (III/517).
[15]. Lihat kitab al-Adzkar (hal. 96-100) karya Imam an-Nawawi dan kitab Tuh-fatudz Dzaakirin (hal. 24-31) karya asy-Syaukani serta kitab Jalaa-ul Afhaam karya Ibnul Qayyim, beliau telah menyebutkan 40 faedah dan manfaat yang diperoleh dari shalawat.
[16]. Maksud Allahlbershalawat, yakni memberikan rahmat-Nya kepada orang yang bershalawat atau mengucapkan salam kepada Nabi j.-Pent
[17]. Lihat Shahih Muslim (I/306) Kitaabush Shalaah bab ash-Shalaat ‘alan Nabi j ba’dat Tasyahhud.
[18]. Diriwayatkan oleh Imam an-Nasa-i dalam Sunannya (III/50) Kitabus Sahw, dengan tambahan lafazh, “وَرُفِعَتْ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ (Dan diangkat baginya sepuluh derajat).” Diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya (III/102), al-Hakim dalam kitabnya, al-Mustadrak (I/550) seraya berkata, “Hadits ini para perawinya shahih, namun tidak diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, dan disetujui juga oleh adz-Dzahabi. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya (II/130) yang disusun oleh al-Farizi.

Kategori Fiqih : Bisnis & Riba

Jika Seseorang Tertimpa Pailit

Kamis, 29 April 2010 16:25:15 WIB
Oleh
Ustadz Abu Humaid Arif Syarifuddin


SIAPAKAH YANG DISEBUT PAILIT ITU?
Pailit, dalam bahasa Arabnya disebut muflis) المفلس) berasal dari kata iflas (الإفلاس) yang menurut bahasa bermakna perubahan kondisi seseorang menjadi tidak memiliki uang sepeser pun (atau disebut dengan istilah pailit). Dan muflis, menurut istilah syari’at digunakan untuk dua makna. Pertama, untuk yang bersifat ukhrawi. Kedua, bersifat duniawi.

Makna yang pertama telah disebutkan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau bersabda :

أَتَدْرُونَ مَنِ الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي مَنْ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

"Apakah kalian tahu siapa muflis (orang yang pailit) itu?” Para sahabat menjawab,”Muflis (orang yang pailit) itu adalah yang tidak mempunyai dirham maupun harta benda.” Tetapi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : “Muflis (orang yang pailit) dari umatku ialah, orang yang datang pada hari Kiamat membawa (pahala) shalat, puasa dan zakat, namun (ketika di dunia) dia telah mencaci dan (salah) menuduh orang lain, makan harta, menumpahkan darah dan memukul orang lain (tanpa hak). Maka orang-orang itu akan diberi pahala dari kebaikan-kebaikannya. Jika telah habis kebaikan-kebaikannya, maka dosa-dosa mereka akan ditimpakan kepadanya, kemudian dia akan dilemparkan ke dalam neraka".[1]

Adapun makna muflis yang kedua -banyak bicarakan oleh para ahli fikih- yaitu orang yang jumlah hutangnya melebihi jumlah harta yang ada (di tangannya). Dinamakan demikian, karena dia menjadi orang yang hanya memiliki fulus (uang pecahan atau recehan) setelah sebelumnya memiliki dirham dan dinar. Ini mengisyaratkan bahwa ia tidak lagi memiliki harta selain yang paling rendah nilainya. Atau karena dia terhalang dari membelanjakan hartanya, kecuali uang pecahan (receh) yang disebut fulus untuk membelanjakan sesuatu yang tak berharga. Karena orang-orang dahulu tidaklah menggunakannya, kecuali untuk membelanjakan sesuatu yang tak berharga. Atau orang yang kondisinya berubah menjadi tidak memiliki uang sepeser pun [2]. Dan makna inilah yang dimaksudkan oleh para sahabat dalam hadits di atas ketika mereka ditanya tentang hakikat muflis, maka mereka mengabarkan tentang kenyataan di dunia. Sedangkan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ingin mengabarkan, bahwa muflis di akhirat itu lebih parah keadaannya.[3]

Ibnu Rusyd menyatakan bahwa iflas (pailit) dalam syari’at digunakan untuk dua makna. Pertama. Bila jumlah hutang seseorang melebihi jumlah harta yang ada padanya, sehingga hartanya tidak bisa untuk menutup hutang-hutangnya tersebut. Kedua. Bila seseorang tidak memiliki harta sama sekali.[4]

Berikut ini kami sampaikan beberapa hukum seputar muflis. Wallahul Muwaffiq.

HAJR TERHADAP MUFLIS
Jika seorang menjadi muflis (pailit) karena banyaknya hutang, sementara harta yang ada di tangannya tidak cukup untuk melunasi hutang-hutangnya yang sudah jatuh tempo, maka apakah boleh menetapkan hajr الْحَجْرُ) ) kepadanya? Yakni menghentikan atau mempersempit pengeluaran harta muflis yang masih ada di tangannya.

Dalam hal ini terdapat beberapa hukum yang berkaitan dengan hajr terhadap muflis.
1. Tidak boleh menetapkan hajr kepada muflis, kecuali bila jumlah hutangnya betul-betul telah melebihi jumlah harta yang ia miliki.

Adapun jika harta milik muflis itu setara dengan jumlah hutangnya, atau lebih banyak dari hutang-hutangnya, maka tidak boleh melakukan hajr terhadapnya, sama saja apakah yang ia belanjakan dari harta hutangnya maupun dari hasil jerih payahnya sendiri. Karena dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hajr kepada muflis adalah bila hutang-hutangnya lebih besar dari harta yang ia miliki, yang dengannya para pemilik harta (pemberi hutang) boleh mengambil dari harta muflis yang ada sesuai prosentase masing-masing. Yakni mereka bersekutu dalam pembagian harta muflis yang masih ada.

Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu 'anhu meriwayatkan :

أُصِيبَ رَجُلٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللهِ فِي ثِمَارٍ ابْتَاعَهَا فَكَثُرَ دَيْنُهُ، فَقَالَ: ((تَصَدَّقُوا عَلَيْهِ))، فَتَصَدَّقَ النَّاسُ عَلَيْهِ، فَلَمْ يَبْلُغْ ذَلِكَ وَفَاءَ دَيْنِهِ، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ لِغُرَمَائِهِ: ((خُذُوا مَا وَجَدْتُمْ وَلَيْسَ لَكُمْ إِلاَّ ذَلِكَ .

"Pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ada seseorang tertimpa musibah (kerusakan) pada hasil tanaman yang ia beli, sehingga ia banyak berhutang. Lalu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,”Bersedekahlah untuknya,” maka orang-orang pun bersedekah untuknya, namun belum bisa melunasi semua hutangnya. Akhirnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada para penagih hutang: “Ambillah apa yang kalian dapati (dari hartanya), dan tidak ada lagi selain itu". [5]

Demikian pula dalam kisah Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu ketika Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan hajr tehadap hartanya [6].

2. Tidak boleh menetapkan hajr kepada muflis, kecuali atas permintaan para pemilik harta (pemberi hutang). Dan jika di antara mereka terjadi perselisihan dalam hal tuntutan hajr [7], maka boleh dilakukan hajr terhadap muflis atas dasar keinginan orang-orang yang menuntutnya dengan syarat jumlah harta yang mereka hutangkan kepada muflis lebih banyak dari jumlah harta muflis.

Sebagaimana dalam kisah Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu 'anhu di atas. Karena hajr itu ditetapkan demi kemaslahatan para pemilik harta (pemberi hutang). Jika mereka tidak menuntut hajr, maka hal itu menunjukkan bahwa kemaslahatan hajr belum jelas bagi mereka.

3. Apabila hakim menjatuhkan hajr kepada muflis, maka hak para pemilik harta (pemberi hutang) berubah dari keterikatannya dengan dzimmah (tanggungan) muflis, menjadi keterikatan langsung dengan hartanya.

Seperti sesuatu yang dijadikan jaminan, maka ia menjadi hak orang yang menerima jaminan. Oleh karena itu syariat memberi hak penguasaan bagi pemilik harta (pemberi hutang) terhadap harta muflis, demi ditunaikannya hak mereka.

4. Dianjurkan bagi hakim untuk menyiarkan keputusan hajr-nya terhadap muflis agar khalayak tidak bermuamalah (harta) secara bebas dengannya.

5. Hakim harus menjual harta benda muflis yang ada, kemudian hasilnya dibagikan kepada para pemilik harta (pemberi hutang) menurut prosentase yang mereka pinjamkan kepada muflis.

Dalam hal ini dianjurkan untuk bersegera melakukannya, dan sebisa mungkin dengan tetap memperhatikan kemaslahatan muflis yang di-hajr dalam cara menjual harta bendanya. Seperti mendahulukan penjualan sesuatu yang cepat rusak, semisal makanan atau yang serupa. Kemudian barang-barang yang bisa diangkut atau harta bergerak, misalnya kendaraan, kemudian harta tak bergerak seperti tanah atau semisalnya. Dalam penjualan ini dianjurkan agar muflis yang dihajr dan para pemilik hak (pemberi hutang) ikut menyaksikan penjualan harta benda tersebut. Namun, hakim hendaknya menyisakan dari harta benda tersebut untuk memenuhi hajat kebutuhan pokok si muflis, seperti pakaian, makanan pokok dan tempat tinggal dengan standar yang layak, tidak terlalu kurang tapi juga tidak berlebihan.

6. Jika harta benda muflis telah dibagikan kepada para pemilik hak (pemberi hutang) sesuai prosentase haknya masing-masing, maka para pemilik hak hendaknya memberi tangguh kepada muflis, jika masih tersisa hak mereka padanya sampai ia terbebas dari belitan kesusahannya.

Hal itu demi mengamalkan firman Allah Subhanhu wa Ta'ala :

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui". [al Baqarah : 280].

Seperti juga ditunjukkan dalam hadits Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu 'anhu di atas dalam Shahih Muslim dan lainnya.[8]


BILA SESEORANG MENDAPATI DENGAN JELAS BARANG YANG IA HUTANGKAN PADA SI MUFLIS MASIH UTUH, MAKA BAGAIMANA HUKUMNYA?
Bila kondisinya demikian, maka ia paling berhak terhadap barangnya dari para pemilik hak yang lain, karena barang tersebut pada asalnya adalah miliknya sebelum ia jual kepada si muflis dengan hutang. Dan pada asalnya, ia tidak ridha barang tersebut keluar dari tangannya, kecuali dengan dibayar harganya. Dan jual beli itu dianggap sah bila dipenuhi syarat pembayaran harganya. Sehingga ketika si muflis tidak bisa membayarnya, maka si pemilik barang itu berhak menggagalkan jual-belinya selama barangnya masih ada. Tetapi, jika barangnya sudah lenyap, maka ia tidak bisa lagi membatalkan jual-belinya, sehingga hukumnya menjadi seperti hutang-hutang yang lain.

Dalil dalam perihal ini ialah apa yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَدْرَكَ مَالَهُ بِعَيْنِهِ عِنْدَ رَجُلٍ أَوْ إِنْسَانٍ قَدْ أَفْلَسَ؛ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ مِنْ غَيْرِهِ

"Barangsiapa mendapati barangnya dengan jelas pada seseorang yang pailit, maka ia lebih berhak (dengan barang itu) daripada (penagih hutang) yang lainnya". [9]

Diriwayatkan pula oleh Muslim dengan lafadz berikut :

إِذَا وَجَدَ عِنْدَهُ الْمَتَاعَ وَلَمْ يُفَرِّقْهُ؛ أَنَّهُ لِصَاحِبِهِ الَّذِي بَاعَهُ

"Bila seseorang mendapati barang (jualan)nya pada orang (yang pailit) itu dalam keadaan belum dia (yang pailit) pisah-pisahkan, bahwa barang tersebut adalah untuk pemiliknya yang menjualnya".

Demikian menurut pendapat jumhur dalam masalah ini. Jumhur ulama juga berpendapat, bila pembeli telah membayar sebagian harga barang milik penjual, maka penjual tidaklah lebih berhak terhadap sisa harga yang belum dibayar oleh pembeli (saat pailit), dan si penjual sama kedudukan haknya dengan para penagih hutang yang lain. Demikian pula jika si pembeli tersebut meninggal dunia sebelum membayar harga barang si penjual, meskipun barang tersebut masih ada [10]. Hal itu berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

أَيُّمَا رَجُلٍ بَاعَ مَتَاعاً فَأَفْلَسَ الَّذِي ابْتَاعَهُ وَ لَمْ يَقْبِضِ الَّذِي بَاعَهُ مِنْ ثَمَنِهِ شَيْئاً فَوَجَدَ مَتَاعَهُ بِعَيْنِهِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ وَإِنْ مَاتَ الْمُشْتَرِي فَصَاحِبُ الْمَتَاعِ أُسْوَةُ الْغُرَمَاءِ

"Siapa saja menjual barang (kepada seseorang), lalu orang yang membelinya jatuh pailit, sementara dia belum menerima harga barangnya sedikitpun, kemudian dia mendapati barang tersebut masih utuh, maka dia lebih berhak dengan barang itu. Tetapi jika si pembeli meninggal dunia, maka pemilik barang bersekutu (menjadi sama haknya) dengan para penagih hutang yang lain (terhadap barang tersebut)".[11]

Dalam salah satu riwayat Abu Daud terdapat lafadz :

فَإِنْ كَانَ قَبَضَ مِنْ ثَمَنِهَا شَيْئاً فَهُوَ أُسْوَةُ الْغُرَمَاءِ

"Tetapi jika dia (penjual) telah mengambil sebagian harganya, maka dia bersekutu (menjadi sama haknya) dengan para penagih hutang lainnya". [12]

APAKAH BOLEH MEMENJARAKAN SESEORANG JIKA TELAH JELAS IA MENJADI MUFLIS?
Jika telah jelas seseorang menjadi muflis (jatuh pailit), maka tidak boleh memenjarakannya. Karena hal itu menyelisihi ketetapan hukum Allah Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana firmanNya :

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

"Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui". [al Baqarah : 280].

Juga menyelisihi apa yang tersirat (mafhum mukhalafah) dari sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam :

لَيُّ الْوَاجِدِ ظُلْمٌ يُحِلُّ عِرْضَهُ وَعُقُوبَتَهُ

"Menunda-nunda pembayaran (hutang) oleh orang yang mampu adalah suatu kezhaliman, yang menghalalkan harga dirinya dan menghukumnya".[13]

Maksud menghalalkan harga dirinya, yakni menyiarkannya dengan mengucapkan kepadanya “kamu telah menunda-nunda hutangmu kepadaku (padahal kamu mampu membayar)”, atau bersikap keras kepadanya dan menghukumnya, yakni memenjarakannya sampai dia mau membayar hutang-hutangnya yang telah berlalu masa tangguhnya.[14]

Ini berbeda dengan muflis (orang pailit), yaitu orang yang mengalami kesukaran karena hartanya yang ada tidak cukup untuk membayar seluruh hutangnya. Dengan kata lain, dia tidak disebut sebagai ‘orang yang mampu’. Sedangkan dalam hadits hukum tersebut, ialah bagi orang yang mampu membayar, tetapi dia menunda-nunda.

Adapun jika belum jelas, apakah dia muflis (pailit) ataukah mampu membayar? Maka sebisa mungkin wajib meneliti keadaannya. Jika telah jelas bahwa dia mampu, maka harus dipenjara sampai dia mau membayar sebagaimana ditunjukkan dalam hadits di atas. Namun jika ternyata betul-betul muflis (pailit) dan tidak sanggup melunasi seluruh hutangnya, maka tidak boleh memenjarakannya. Dan harta muflis yang tersisa menjadi hak bersama bagi para pemberi hutang dan dibagikan sesuai prosentase kepemilikan mereka dalam harta si muflis. Selebihnya hendaknya mereka memberi tangguh sampai si muflis memperoleh kelapangan untuk melunasinya. [15]

Demikian beberapa hukum mengenai orang muflis (pailit) yang bisa kami sampaikan. Wallahu a’lam bi ash Shawab.

Maraji` :
1. Fathul Bari, oleh al Hafizh Ibnu Hajar al Asqalani.
2. Syarh az Zarqani ‘ala Muwaththa al Imam Malik.
3. Nailul Authar, oleh al Imam asy Syaukani.
4. Al Mughni, oleh al ‘Allamah Ibnu Qudamah al Maqdisi.
5. Bidayatul Mujtahid, oleh al Qadhi Ibnu Rusyd al Qurthubi.
6. Al Fiqh al Manhaji ‘ala Madzhab al Imam asy Syafi’i, oleh Dr. Musthafa al Khin, Dr. Mushthafa al Bugha dan Ali asy Syaraihi.
7. Irwa’ al Ghalil, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani; At Ta’liqat ar Radhiyyah ‘ala ar Raudhah an Nadiyyah li al ‘Alamah Shiddiq Hasan Khan, oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183]
________
Footnotes.
[1]. HR Muslim no. 2581, at Tirmizi no. 2418 dan Ahmad (2/303, 334, 371), dari Abu Hurairah z .
[2]. Fathul Bari (5/76) dan Nailul Authar (5/241). Lihat juga Syarh az Zarqani ‘ala Muwaththa’ al Imam Malik (3/417).
[3]. Al Mughni (4/265)
[4]. Bidayatul Mujtahid (4/1451).
[5]. HR Muslim no. 1556, Abu Dawud no. 3469, at Tirmidzi no. 655, an Nasa-i no. 4530 dan Ibnu Majah no. 2356.
[6]. Diriwayatkan oleh al Baihaqi di dalam as Sunan al Kubra, Kitab at Taflis, Bab al Hajr ‘ala al Muflis (6/48), al Hakim dalam al Mustadrak, Kitab al Ahkam (4/101) dan ad Daruquthni dalam as Sunan, Kitab al Aqdhiyah dan al Ahkam, Bab al Hajr ‘ala al Muflis (4/231) dari hadits az Zuhri dari (Abdurrahman) bin Ka’ab bin Malik dari ayahnya Ka’ab bin Malik z secara muttashil; dan diriwayatkan secara mursal (tanpa disebutkan Ka’ab bin Malik) oleh al Baihaqi (6/48), Abdur Razzaq dalam al Mushannaf, Kitab al Buyu’, Bab al Muflis wa al Mahjur ‘alaihi (8/268), serta al Hakim dalam al Mustadrak, Kitab Ma’rifat ash Shahbah (3/272). Namun yang paling benar bahwa hadits ini diriwayatkan dari az Zuhri dari (Abdurrahman) bin Ka’ab secara mursal (tanpa menyebutkan ayahnya). Lihat Irwa’ al Ghalil (5/260-262, hadits no. 1435) dan Nailul Authar (5/244-245).
[7]. Yakni sebagian menuntut hajr dan sebagian lagi tidak.
[8]. Lihat keenam poin tersebut dalam al Fiqh al Manhaji ‘ala Madzhab al Imam asy Syafi’i (3/599-600), dan lihat kelanjutan pembahasannya tentang hak pembelanjaan harta si muflis setelah dikenai hajr.
[9]. HR al Bukhari no. 2402 –Fathul Bari- dan Muslim no. 1559.
[10]. Lihat at Ta’liqat ar Radhiyyah ‘ala ar Raudhatun Nadiyyah li al ‘Allamah Shiddiq Hasan Khan (3/194), oleh Syaikh al Albani. Dan lihat kembali pembahasan “Bila Warisan Tidak Mencukupi Untuk Membayar Hutang” As Sunnah Edisi Khusus (7 dan 8) Th. IX/1426H/2005M.
[11]. HR Malik no. 1357 dan Abu Dawud 3520, dari hadits Abu Bakar bin Abdurrahman bin al Harits bin Hisyam secara mursal. Dishahihkan oleh Syaikh al Albani dengan beberapa jalur periwayatan pendukungnya. Lihat Irwa’ al Ghalil dalam takhrij hadits no. 1442 dan 1443.
[12]. Abu Dawud no. 3521. Lihat Irwa’ al Ghalil dalam takhrij hadits no. 1444.
[13]. HR Ahmad (4/388-389), Abu Dawud no. 3628), an Nasa-i no. 4689, Ibnu Majah no. 2427 dan lainnya. Dihasankan oleh Syaikh al Albani di dalam Irwa’ al Ghalil dalam takhrij hadits no. 1434.
[14]. Tasfir kalimat-kalimat ini, diantaranya disebutkan oleh Sufyan ats Tsauri seperti dinukil oleh al Bukhari dalam judul Bab “Li Shahibil Haqqi Maqal” (5/75). Disebutkan pula oleh Ibnul Mubarak (Sunan al Baihaqi, 6/51) dan yang lainnya. Wallahu A’lam.
[15]. Lihat at Ta’liqat ar Radhiyyah (3/195-196).