Mengharap Berkah Melalui Dzikir Kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala
Jumat, 3 Agustus 2012 06:18:49 WIB
Oleh
Dr. Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i
Hakikat dari keberkahan adalah kebaikan yang senantiasa ada, kontinu,
melimpah dan semakin bertambah. Dan semua kebaikan baik yang bersifat
duniawi maupun ukhrawi berada di tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala
-sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya pada bahasan pendahuluan-.
Karena itu, keberkahan tidak boleh diharapkan dan diminta kecuali hanya
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala semata, atau boleh juga melalui segala
sesuatu yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala titipkan suatu keberkahan
kepadanya, yang tentunya dengan cara yang sesuai dengan syariat
(masyruu’). Dan dzikrullaah (dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala)
merupakan salah satu sarana dalam mencari keberkah-an dari-Nya.
Dzikir (mengingat Allah Subhanahu wa Ta’ala) dapat dilakukan dengan hati
(bil qalbi), dan dapat pula dengan lisan (bil lisaan). Namun yang
terbaik (al-afdhal) adalah dengan hati dan lisan sekaligus [1], tetapi
jika dibatasi pilihannya hanya pada salah satu dari keduanya, maka
dengan hatilah yang lebih utama (afdhal)[2] , karena dzikir hati
(dzikrul Qalbi) akan membuahkan pengetahuan (ma’rifah) dan
membang-kitkan rasa cinta (al-mahabbah) dan rasa malu (al-hayaa’),
melahir-kan rasa takut (makaafah) serta menghadirkan rasa pengawasan
(muraaqabah) dari Allah Subhanahu wa Ta’ala.[3]
Macam-Macam Dzikir
Ibnul Qayyim rahimahullah di dalam kitabnya, al-Waabilush Shayyib
menyebutkan tentang jenis-jenis dzikir, bahwa dzikir itu terbagi dua
macam, yaitu:
Pertama : Menyebut Nama-Nama, Sifat-Sifat Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
menyanjung-Nya dengan menggunakan Nama-Nama dan Sifat-Sifat tersebut,
juga mensucikan-Nya dari segala dari segala hal yang tidak layak untuk
disandarkan kepada-Nya. Dan hal ini pun terbagi lagi menjadi dua:
1. Melakukan puji-pujian terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan menyebut Nama-Nama maupun Sifat-Sifat-Nya.
Bagian inilah yang sering diterangkan dalam hadits Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam seperti, سُبْحَانَ اللهُ، وَالْحَمْدُ للهِ، وَلاَ
إِلهَ إِلاَّ اللهُ، وَاللهُ أَكْبَرُ dan سُبْحَانَ اللهِ وَبِحَمْدِهِ
serta لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ،
وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ atau yang lainnya.
Dan yang terbaik (afdhal) dalam bagian ini serta mencakup segala pujian,
adalah سُبْحَانَ اللهِ عَدَدَ خَلْقِهِ. Ini lebih utama (afdhal) dari
sekedar سُبْحَانَ اللهُ. Sebagaimana jika engkau mengucapkan, “الْحَمْدُ
للهِ عَدَدَ مَا خَلَقَ فِي السَّمَاءِ وَعَدَدَ مَا خَلَقَ فِي الأَرْضِى
وَعَدَدَ مَا بَيْنَهُمَا، وَعَدَدَ مَا هُوَ خَالِقٌ” lebih utama
(afdhal) dari sekedar “الْحَمْدُ للهِ”. Beliau menguatkan pendapat ini
dengan menyebutkan beberapa hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam.
2. Informasi [4] tentang Allah Tabaaraka wa Ta‘aalaa dengan berbagai kaidah Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya yang sempurna.
Seperti, bahwa Allah Azza wa Jalla mendengar suara-suara hamba-Nya,
melihat gerak-gerik mereka, tidak ada sesuatu pun dari amal mereka yang
tersembunyi, Dia Mahapenyayang kepada mereka, lebih dari orang tua
mereka dan bahwa Dia Mahakuasa atas segala se-suatu, dan yang lainnya.
Kemudian Ibnul Qayyim rahimahullah melanjutkan: “Dan (cara) yang terbaik
dari jenis ini, yaitu pujian kepada-Nya dengan pujian yang Dia gunakan
dalam memuji Diri-Nya sendiri, dan dengan pujian yang Rasul-Nya,
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam gunakan dalam memuji-Nya tanpa
tahriif (menyimpangkan makna dari Nama dan Sifat-Nya), tanpa ta’thiil
(meniadakan Sifat-Sifat-Nya), tanpa tasybiih (menye-rupakan Zat dan
Sifat-Nya dengan zat dan sifat makhluk-Nya) dan tanpa tamtsiil (menyamai
Zat dan Sifat-Nya dengan zat dan sifat makhluk-Nya).
Lalu beliau menyebutkan beberapa jenis yang lain lagi, dan berkata:
Kedua, menyebut dan mengingat perintah, larangan dan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Jenis ini pun terklasifikasi menjadi dua macam:
1. Menyebut dan mengingat hal-hal tersebut sebagai informasi dan
pemberitahuan dari-Nya, bahwa Allah Ta’ala telah memerintahkan hal ini,
melarang hal itu, suka pada hal ini, murka pada hal itu, serta ridha
terhadap hal yang demikian.
2. Menyebut dan mengingat perintah-Nya kemudian bersegera
merealisasikannya, atau menyebut dan mengingat larangan-Nya kemudian
bersegera menjauhkan diri darinya.
Beliau melanjutkan: “Dan termasuk dari berdzikir kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala adalah dengan menyebut-nyebut karunia dan nikmat-Nya,
kebaikan-Nya, bantuan-Nya dan segala pemberian-Nya kepada
hamba-hamba-Nya. Maka, semuanya ada lima macam dzikir.”[5]
Kesimpulannya adalah, berdzikir kepada Allah Ta‘ala terbagi menjadi:
Menyebut Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya Ta‘ala, yang sengaja digunakan
untuk berdzikir maupun yang bersifat pengkabaran. Dan mengingat perintah
dan larangan-Nya beserta hukum-hukum-Nya, baik yang bersifat ucapan
(qaulan) maupun prakteknya (‘amalan), dan menyebut-nyebut
nikmat-nikmat-Nya dan kebaikan-kebaikan-Nya kepada makhluk-Nya.
Maka, dibolehkan mencari berkah dengan dua dzikir yang tersebut di atas
tadi, dengan jenis-jenis dan macam-macamnya. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam telah memberikan petunjuk kepada kita agar membaca
dzikir dan wirid-wirid yang disyariatkan baik yang umum maupun khusus,
dan terikat oleh tempat, waktu maupun keada-an, seperti dzikir yang
disyariatkan dalam shalat, sesudah adzan, haji dan berbagai ibadah lain,
juga seperti dzikir-dzikir siang dan malam yang telah masyhur,
contohnya dzikir pagi dan sore, saat tidur, mengendarai kendaraan, saat
berpakaian, dan selainnya. Begitu pun pada saat tertentu dan
kondisi-kondisi tertentu yang berbeda-beda serta pada seluruh keadaan
seorang Muslim.
Lafazh dzikir tertera dan termaktub dalam buku-buku Sunnah, dan sebagian
ulama telah memisahkan pembahasan dzikir tersebut dalam buku yang
tersendiri. Yang paling populer dan terbaik adalah kitab al-Adzkaar yang
ditulis oleh Imam Nawawi rahimahullah. Adapun hukum berdzikir tersebut
adalah beragam, ada yang wajib seperti dzikir-dzikir shalat, contohnya
tasbih saat ruku’ dan sujud, serta selainnya. Begitu juga ada yang
Sunnah, kelompok inilah yang terbanyak dari yang sebelumnya.
Menyebut Nama-Nama Allah Ta‘ala Adalah Salah Satu Bentuk Dzikir
Termasuk dalam kategori dzikir adalah menyebut Nama Allah Subhanahu wa
Ta’ala saat akan berbicara dan bekerja. Tasmiyyah (mengucapkan بِسْمِ
اللهِ) ini disunnahkan di awal setiap perkataan maupun perbuatan.[6]
Artinya, “Aku memulai dengan menyebut Nama Allah (bi tasmiyyatillaah)
sebelum aku berkata maupun aku berbuat.” Di antara hikmah dari dzikir
ini adalah memperoleh keberkahan yang bersifat ukhrawi maupun duniawi
pada hal-hal tersebut, serta menghalangi kerusakan-kerusakan dan
keburukan darinya, dengan kemuliaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
pertolongan-Nya.
Setelah memberikan contoh-contoh bagi hal tersebut, al-Hafizh Ibnu
Katsir rahimahullah berkata, “Yang disyariatkan adalah menyebut Nama
Allah Subhanahu wa Ta’ala pada saat akan melakukan hal-hal tersebut di
atas, dengan maksud untuk mengharap berkah, percaya, optimis dan
berharap sebagai penolong, agar Allah berkenan menyempur-nakannya serta
menerimanya.”[7] Dan di antara perkara-perkara yang disyariatkan
bertasmiyyah (menyebut Nama Allah) padanya adalah pada saat berkurban
dan berburu.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ
“Dan janganlah kamu mamakan binatang-binatang yang tidak disebut Nama
Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu
adalah suatu kefasikan...” [Al-An‘aam: 121]
Dan juga firman-Nya:
فَكُلُوا مِمَّا أَمْسَكْنَ عَلَيْكُمْ وَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ
“...Maka makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah Nama
Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya)...” [Al-Maa-idah: 4]
Serta pada saat berwudhu’, mandi, tayammum,[8] dan juga pada saat masuk
dan keluar masjid. Juga saat makan dan minum, sebagaimana yang
disebutkan dalam ash-Shahiihain (Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim),
dari ‘Umar bin Abi Salamah[9] Radhiyallahu anuma berkata: “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku:
"يَا غُلاَمُ سَمِّ اللهَ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ!"
“Wahai pemuda sebutlah dengan Nama Allah dan makanlah dengan tangan kananmu!”[10]
Di dalam beberapa kitab Sunan dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
"إِذَا أَكَلَ أَحَدُكُمْ طَعَامًا، فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ فَإِنْ
نَسِيَ فِي أَوَّلِهِ فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللهِ فِي أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ."
“Jika salah seorang diantara kalian makan, maka ucapkanlah bismillaah
(dengan Nama Allah). Namun bila ia lupa, maka ucapkanlah bismillaahi fii
awwalihi wa aakhirihi (dengan Nama Allah di awal dan akhirnya).” [11]
Dan juga di antaranya adalah tasmiyyah ketika akan masuk dan keluar
rumah, ketika akan tidur, akan jima', dan selainnya. Demikian pula
basmalah (yaitu mengucapkan بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ)
disyariatkan di saat akan membaca awal dari surat-surat dalam al-Qur-an
kecuali pada surat Bara-ah (at-Taubah).
Sebagian ulama telah menyebutkan beberapa alasan melakukan hal tersebut,
diantaranya dalam rangka bertabarruk (meng-harap berkah) dengannya.
Demikian pula telah disepakati oleh para ulama umat, agar menuliskannya
pada permulaan buku-buku maupun surat.
Shalawat Atas Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam
Dan termasuk pula dalam dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah,
shalawat kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia merupakan
bagian dari dzikir kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ungkapan syukur
kepada-Nya, serta mengakui nikmat-Nya terhadap hamba-Nya dengan mengutus
beliau, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Shalawat atas Nabi adalah hukumnya wajib pada saat tasyahhud akhir dalam
shalat -dengan lafazh yang telah diketahui sesuai menurut Sunnah-
menurut pendapat yang lebih tepat dari dua pendapat ulama yang ada.[12]
Shalawat tersebut juga disyari’atkan dalam berbagai kondisi, sebagaimana
yang telah disebutkan oleh Imam Ibnul Qayyim bahwasanya (shalawat ini)
disyari’atkan dalam 40 kondisi dengan beserta dalil-dalilnya dalam kitab
beliau, Jalaa-ul Afhaam fiish Shalaah was Salaam ‘alaa khairil
Anaam.[13] Di antaranya adalah shalawat atas Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam ketika disebutkan namanya,[14] di awal-awal do’a serta akhirnya,
pada hari Jum’at, dan selainnya.
Adapun dalil disyariatkannya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ۚ يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi.
Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan
ucapkanlah salam penghormatan kepada-nya.” [Al-Ahzab: 56]
Serta hadits-hadits yang menganjurkannya, memperbanyak jumlahnya serta
mengungkapkan keutamaan-keutamaannya adalah sangat banyak sekali.[15]
Saya nukilkan di antaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
"مَنْ صَلَّى عَلَيَّ وَاحِدَةً، صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا."
“Barangsiapa yang bershalawat kepadaku satu kali maka Allah akan bershalawat[16] padanya 10 kali.”[17]
Dan disebutkan pada dalam kitab-kitab Sunan dari Anas Radhiyallahu anhu dengan lafazh:
"صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرَ صَلَوَاتٍ، وَحُطَّتْ عَنْهُ عَشْرُ خَطِيئَاتٍ، وَرُفِعَتْ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ."
“Niscaya Allah akan bershalawat kepadanya 10 kali dan di-hapus darinya 10 kesalahan dan diangkat baginya 10 derajat.”[18]
[Disalin dari buku At Tabaruk Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu, Judul dalam Bahasa
Indonesia Amalan Dan Waktu Yang Diberkahi, Penulis Dr. Nashir bin
‘Abdirrahman bin Muhammad al-Juda’i, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir]
_______
Footnote
[1]. Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Seandainya makna tersebut
ditambahkan dengan menghayati makna dzikir dan segala yang terkandung di
dalamnya, seperti mengagungkan Allah Ta‘ala, dan menolak segala sifat
kekurangan yang di-nisbatkan kepada-Nya, maka akan lebih sempurna. Jika
hal tersebut hadir dalam amalan shalih, lebih-lebih pada segala amal
yang wajib, seperti shalat, jihad atau yang lainnya, maka akan menambah
kesempurnaannya. Seandai-nya niat dalam mengamalkan suatu amalan sudah
benar dan ikhlas karena Allah Ta‘ala, maka akan lebih sempurna lagi.
Fat-hul Baari (XI/209).
[2]. Dari kitab al-Adzkaar (hal.6) karya Imam an-Nawawi.
[3]. Al-Wabilush Shayyib wa Raafi’ al-Kalimith Thayyib (hal. 190), oleh Imam Ibnul Qayyim.
[4]. Dari tinjauan penentapan sifat dan dalil-dalilnya, maka Sifat-Sifat
Allah Ta‘ala terklasifikasi menjadi dua macam: Pertama, sifat-sifat
khabariyah (informatif), yaitu sifat-sifat yang tidak ada jalan untuk
menetapkannya kecuali melalui pendengaran dan pemberitaan dari Allah
Ta‘ala atau dari Rasulullah j. Karena itu disebut pula sifat-sifat
sam‘iyah atau naqliyah, dan terkadang berupa dzaatiyah; seperti wajah
dan kedua tangan; dan ada pula yang berupa fi’liyah seperti gembira dan
tertawa. Dan ini yang sedang kita bahas saat ini. Kedua, sifat-sifat
sam‘iyah aqliyah, yaitu sifat-sifat yang penetapannya disertakan pula
dalil-dalil sam‘i (naqli) bersamaan dengan dalil-dalil ‘aqli.
Sifat-sifat ini pun ada kalanya berupa dzaatiyah, seperti hidup, ilmu,
kekuasaan, dan adapula yang berupa fi‘liyah seperti mencipta dan
memberi.-Pent.
[5]. Al-Waabilush Shayyib (hal. 187-190), dengan sedikit perubahan.
[6]. Lihat Tafsir Qurthubi (I/97) dan Tafsir Ibni Katsir (I/9). Imam
al-Bukhari membuat bab khusus dalam kitab Shahihnya yaitu bab
at-Tasmiyatu ‘ala Kulli Haalin wa ‘inda Wiqaa’ di dalam Kitab Wudhu’.
Lihat Shahih al-Bukhari (I/44).
[7]. Tafsiir Ibni Katsir (I/19).
[8]. Sebagian besar ulama mewajibkan tasmiyyah dalam hal-hal tersebut
dan di antara mereka ada yang membedakan antara saat lupa dan tidak.
Untuk lebih lengkapnya dalam hal ini, lihat buku-buku tafsir, hadits
serta fikih.
[9]. Beliau adalah ‘Umar bin Abi Salamah bin ‘Abdirrahman bin ‘Auf
az-Zuhri al-Madani, anak tiri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam karena
ibunya adalah isteri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, memimpin Bahrain
pada masa ‘Ali Radhiyallahu anhu, wafat di Madinah pada th. 83 H. Lihat
Asaadul Ghaabah (III/680), al-‘Ishaabah (II/512) dan Tahdziibut
Tahdziib (VII/456).
[10]. Shahih al-Bukhari (VI/196) kitab al-Ath’imah bab at-Tasmiyatu
‘alath Tha’aam wal Aklu bil Yamiin dan Shahih Muslim (III/1599) kitab
al-Asyribah bab Aadaabuth Tha’aam wasy Syaraab wa Ahkaamuhuma.
[11]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya (IV/139) kitab
al-Ath’imah bab at-Tasmiyatu ‘alath Tha’aam dan at-Tirmidzi dalam
Sunannya (IV/288) kitab al-Ath’imah bab at-Tasmiyatu ‘alath Tha’aam, ia
berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Serta Ibnu Majah dalam Sunannya
(II/1087) kitab al-Ath’imah bab at-Tasmiyatu ‘indath Tha’aam, Imam Ahmad
dalam Musnadnya (VI/208), ad-Darimi dalam Sunannya (III/94) kitab
al-Ath’imah bab at-Tasmiyatu ‘alath tha’aam, al-Hakim dalam al-Mustadrak
(IV/108) kitab al-Ath’imah dan ia berkata, “Hadits ini sanadnya shahih
dan tidak diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim.” Serta disetujui oleh
adz-Dzahabi.
[12]. Jalaa-ul Afhaam fish Shalaati was Salami ‘alaa Khairil Anaami
(hal. 193-216) karya Ibnul Qayyim, yang menyebutkan dalil-dalil dari
kedua pendapat dan beberapa kritikan-kritikan yang sekaligus juga
menguatkan akan hukum wajibnya.
[13]. Lihat pada halaman 155-210.
[14]. Sebagian ulama mewajibkannya dalam hal ini, lihat tahqiq masalah
tersebut pada referensi sebelumnya (hal. 229-240) demikian juga
disyariatkan penu-lisan shalawat ketika nama beliau dituliskan. Ibnu
Katsir berkata. “Para penulis mengajak agar (setiap) penulis mengulangi
shalawat setiap kali me-nulis nama beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
.” Tafsir Ibni Katsir (III/517).
[15]. Lihat kitab al-Adzkar (hal. 96-100) karya Imam an-Nawawi dan kitab
Tuh-fatudz Dzaakirin (hal. 24-31) karya asy-Syaukani serta kitab
Jalaa-ul Afhaam karya Ibnul Qayyim, beliau telah menyebutkan 40 faedah
dan manfaat yang diperoleh dari shalawat.
[16]. Maksud Allahlbershalawat, yakni memberikan rahmat-Nya kepada orang
yang bershalawat atau mengucapkan salam kepada Nabi j.-Pent
[17]. Lihat Shahih Muslim (I/306) Kitaabush Shalaah bab ash-Shalaat ‘alan Nabi j ba’dat Tasyahhud.
[18]. Diriwayatkan oleh Imam an-Nasa-i dalam Sunannya (III/50) Kitabus
Sahw, dengan tambahan lafazh, “وَرُفِعَتْ لَهُ عَشْرُ دَرَجَاتٍ (Dan
diangkat baginya sepuluh derajat).” Diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad
dalam Musnadnya (III/102), al-Hakim dalam kitabnya, al-Mustadrak (I/550)
seraya berkata, “Hadits ini para perawinya shahih, namun tidak
diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, dan disetujui juga oleh
adz-Dzahabi. Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahihnya (II/130) yang
disusun oleh al-Farizi.